Minggu, 15 Agustus 2010

TABIR MISTERISITUS MEGALITHIC GUNUNG PADANG


Adalah Gunung Padang, sebuah bukit kecil yang berdiri memancang bumi pada koordinat 6°57’ LS - 107°1’ BT, sekitar 50 Km sebelah Barat Daya Kota Cianjur. Tepatnya di Desa Cimenteng, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Di puncak bukit ini berdiri sebuah situs megalithic yang telah menyita perhatian peneliti dari berbagai instansi sejak penemuannya tahun 1979 lalu. Situs Megalithic Punden Berundak Gunung Padang, sebuah situs yang masih menyembunyikan rahasia besar tentang kisah kehidupan masa lalu para pendahulu kita.
Situs ini sebenarnya pernah di catat oleh N.J. Krom dalam bukunya “ rapporten van den oudhei kundingen dients in nederlandsch-indie 1914.” Namun tidak dilanjutkan dengan riset mendalam setelah itu, hingga akhirnya informasi tersebut terlupakan. Pada tahun 1979 berita tentang situs Gunung Padang mencuat lagi setelah adanya laporan dari 3 orang penduduk sekitar Gunung Padang. Mereka adalah pak Endi, Soma dan Abidin yang telah melaporkan ke penilik kebudayaan Kecamatan Campaka.
Sejak itulah kemudian berturut-turut dilakukan pemetaan, penggambaran, dan deskripsi. Baik oleh DP3SP yang sekarang bernama Direktorat Sejarah dan Purbakala, Pusat Pengembangan Arkeologi Nasional yang sekarang bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, dan kemudian di lanjutkan oleh Disbudpar Provinsi Jabar(2001), Balai Arkeologi Bandung(2002,2004,2005), dan Bandung FE Institute(2008).

Situs megalitik punden berundak Gunung Padang ini terletak memanjang ke arah Tenggara Barat Laut pada ketinggian 885 meter di atas permukaan laut dari perhitungan altimeter. Karena letaknya ada di puncak bukit, untuk naik ke situs ini, kita harus menaiki ratusan anak tangga dari batu yang sangat curam dengan tinggi sekitar 75 meter dan panjangnya lebih kurang 150 meter.
Situs ini terdiri atas lima teras (tingkatan) dan memiliki luas yang berukuran raksasa, jika di bandingkan dengan situs punden berundak lain di dunia, yaitu 3132,15 m2. Bangunannya menghadap ke arah jurusan 3350, mulai dari teras pertama hingga teras kelima. Secara arsitektural ketinggian bangunan meningkat, mulai dari teras satu ke teras kelima.
Lokasi situs ini dikelilingi oleh bukit-bukit(“pasir”: bhs. Sunda) dengan lembah-lembah yang dalam sebagai perantaranya. Di sebelah Barat Laut Gunung Padang terdapat lembah yang dalam, memanjang dari Barat Daya-Timur Laut. Di pinggiran lembah itulah terdapat Desa Cimanggu, Ciwangun, dan Cipangulaan yang merupakan desa terdekat dengan situs Gunung Padang. Daerah ini juga dilalui oleh sungai Cicohang di sebelah Barat Laut dan Cimanggu di sebelah Timur. Lahan yang subur di dasar lembah dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat bersawah.
Di arah Timur Laut, terlihat Pasir Malang yang membentang hingga Pasir Emped di arah Selatan, dan terus berlanjut dengan Pasir Karuhun di arah Barat Gunung Padang. Di arah Utara, berdiri Pasir Batu yang segaris lurus di depan Gunung Padang. Pasir Pogor dan Pasir Gombong berdiri di belakangnya sedikit ke arah Barat Laut, dan di teruskan oleh Gunung Melati di sebelah Tenggara. Jika diperhatikan dengan seksama, posisi situs gunung padang berada tepat di tengah-tengah. Pasir-pasir ini terlihat mengitari Gunung Padang bagaikan sebuah lingkaran dinding penjaga. Pemilihan lokasi yang istimewa ini sebenarnya menggambarkan betapa pentingnya situs ini bagi pendirinya di masa lalu. Karena bagi mereka situs ini adalah kunci keberlangsungan hidup yang sangat berharga.

Warisan Peradaban Austronesia

Melihat lokasi situs yang sangat strategis seperti ini, hal pertama yang membuat kita kagum adalah betapa cerdasnya para pendiri situs ini memilih puncak Gunung Padang. Dengan lembah subur yang menjamin kemakmuran bagi masyarakatnya, mata air yang tidak berhenti sepanjang tahun, lingkaran bukit yang memberikan ketenangan dan perasaan aman dari gangguan luar, di tambah sebuah tempat memuja di puncak bukit yang terjaga. Benar-benar sebuah pilihan yang luar biasa. Sang arsitek yang telah memilih bukit ini, mungkin melalui survei lama dan penjelajahan yang sangat jauh
Ternyata pilihan-pilihan tersebut mengarahkan kita pada persoalan siapakah gerangan orang cerdas pendiri situs gunung padang ini. Kajiannya kita arahkan pada karakteristik tinggalan dan model pemilihan lokasi pembangunan pada zaman megalitikum. Hal ini berkaitan dengan bagaimana masyarakat pendukung tradisi megalitikum memilih suatu lokasi sebagai tempat permukiman yang tepat bagi mereka.
Masyarakat megalithic pada dulunya sangat tergantung dengan alam sekitar, dan terikat erat dengan arwah leluhurnya. Alam yang ramah sangat menunjang kehidupan mereka, karena itu mereka memilih lokasi yang subur dengan mata air yang cukup. Namun dalam keyakinan mereka, factor yang mempengaruhi kebaikan alam adalah pertolongan dari arwah leluhur.
Oleh karena itu, mereka membina hubungan baik dengan para leluhur tersebut dengan membangun tempat pemujaan untuk leluhur. Dalam konsep mereka, tempat yang tinggi adalah tempat bersemayamnya arwah leluhur. Itulah sebabnya mereka membangun tempat pemujaan di puncak-puncak yang tinggi.
Akan tetapi gunung padang bukan tempat penguburan leluhur. N.J. Krom yang menemukannya di tahun 1914 menyangka tempat itu adalah lokasi pemujaan yang ada kuburannya. Namun setelah beberapa kali proses penggalian, tidak di temukan tanda-tanda penguburan seperti kerangka tulang misalnya, kecuali beberapa gerabah polos untuk alat ritual.
Dalam tulisannya tentang teknologi, sumber bahan, dan pola susunan balok batu bangunan punden berundak gunung padang, Lutfi Yondri, peneliti dari Balai Arkeologi Bandung, menjelaskan bahwa dari 3 kebutuhan dasar manusia dapat bertahan hidup di alam, yang berkaitan erat secara langsung dengan budaya dalam konteks permukiman di masa lalu adalah kebutuhan dasar untuk memilih.
Kemampuan tersebut tidak hanya di tujukan untuk pemenuhan kelangsungan hidup hayati, tetapi juga ditujukan untuk mengekspresikan kebudayaan. Dalam hal ini, keterkaitan bahan yang di gunakan untuk membangun atau membuat satu bentuk budaya materi akan di hadapkan pada factor lingkungan alam yang ada di sekitarnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, di masa lalu untuk pemenuhan kebutuhan kebudayaan khususnya yang berkaitan dengan aspek religi yang berkaitan dengan pengagungan arwah leluhur, masyarakat pendukung budaya megalitik yang hidup di kawasan Gunung Padang mengolah kawasan gunung padang dan kemudian menjadikannya sebagai bangunan punden berundak tempat pemujaan arwah leluhur, (Lutfi Yondri, 2007).
Lutfi juga menerangkan bangunan punden berundak sebagai salah satu jenis tinggalan zaman megalitikum, menunjukan identitasnya yang berasal dari zaman megalitikum tua, sekitar masa 3000-1500 sebelum masehi. Hal ini berkaitan dengan ciri peninggalan megalitikum tua yang sifatnya tinggalan monumental. Sementara tinggalan megalitikum muda kebanyakan ornament kecil.
Adapun arsitek cerdas yang membangunnya adalah masyarakat pendukung budaya megalitik tua yang berasal dari keturunan ras austronesia. Mereka merupakan nenek moyang manusia modern di Nusantara yang datang pada gelombang pertama perpindahan ras austronesia dari dataran tinggi Yunan di Asia Daratan.

Sementara itu cerita yang berkembang di masyarakat berbeda halnya. Sebagai sebuah peninggalan di tatar Sunda, situs ini tidak terlepas dari mitos-mitos yang selalu terkait dengan keberadaan Prabu Siliwangi. Dan biasanya mitos-mitos itu ada dalam beberapa versi yang berbeda. Dalam sebuah kesempatan, abah Dadi, juru pelihara sekaligus kuncen situs ini bercerita kepada kami.
Alkisah di masa lalu, pada masa raja-raja masih berjaya di bumi Nusantara. Di tatar Sunda bertakhta seorang raja agung dengan gelar Prabu Siliwangi. Sebagai seorang raja, beliau sangat arif dan bijaksana dalam memerintah, hingga rakyatnya pun mencintainya dengan khidmat dan rasa bangga. Suatu ketika, sang prabu berniat membangun tempat suci sebagai tempat peribadatan dan tempat ngahyangnya kelak.
Setelah lama mencari, di temukanlah puncak Gunung Padang sebagai tempat yang sesuai. Karena letak Gunung Padang di anggap sebagai titik pusat dari kerajaan Sunda-Padjajaran yang di perintahnya. Setelah itu dibangunlah tempat suci tersebut dengan persyaratan selesai dalam waktu semalam. Namun katanya, tidak sempat selesai karena pagipun keburu datang. Dan akhirnya, sang prabu pun menghilang disana.
Masyarakat Sunda mempercayai tempat tersebut sebagai tempat bersemayamnya Eyang Prabu Siliwangi hingga sekarang. Dari mitos ini juga lahirnya nama Gunung Padang. Dalam bahasa sunda secara etimologis gunung berarti tinggi, sedangkan padang sama dengan caang yang artinya terang.
Sementara dalam mitos versi kedua, Prabu Siliwangi tidak mendirikan situs ini dalam semalam. Setelah meninggalkan Keraton Pakuan yang di serang oleh pasukan Banten. Prabu Siliwangi mencari tempat yang sepi untuk tempat memerintah. Kemudian di pilihlah gunung padang sebagai lokasi yang sesuai. Setelah didirikan punden berundak di puncak Gunung Padang, sang prabu menggunakan tempat tersebut untuk memberikan wejangan kepada rakyatnya untuk melakukan perpindahan ke tempat baru. Ada yang di arahkan ke Sumedanglarang, Banten, dan Baduy. Setelah itu sang prabu ngahyang di gunung padang tersebut.
Akibat berkembangnya kedua mitos ini kerapkali timbul kerancuan dalam mengkategorikan situs ini sejarah atau prasejarah. Karena jika ditilik dari sisi arkeologisnya, situs ini menunjukan ciri tinggalan kebudayaan megalitikum tua. Dan di kategorikan dalam situs prasejarah karena tidak meninggalkan tulisan, mayoritas arkeolog sepakat untuk hal ini. Namun mitos prabu siliwangi yang notabenenya berasal dari kerajaan Padjajaran, telah mempengaruhi beberapa asumsi yang menganggap situs ini di bangunnya pada masa sejarah.

Gunung Padang Dalam Sejarah Sunda
Jika ditilik sejarah kerajaan sunda dari kitab Carita Parahyangan. Di sana diceritakan bahwa dalam masa pemerintahannya Prabu Ratu Carita atau Sang Nilakendra atau Sang Mokteng Majaya(1551-1567 M) pernah membuat taman yang dibalay (diperkeras dengan batu). Namun tidak disebutkan gunanya untuk apa sebenarnya. Bagi pendukung asumsi gunung padang dibangun pada masa sejarah, cerita ini sering dijadikan landasan pendapatnya.
Namun ada bukti tertulis lain yang menyangkal, yaitu laporan pejalanan seorang pelancong sunda., Bujangga Manik orangnya. Adalah seorang pangeran kelana pencari ilmu dari Kerajaan Sunda pada sekira akhir abad ke-15, pernah menjelajahi Pulau Jawa dan mengunjungi tempat-tempat keramat sepanjang pantai utara, menyeberang ke Pulau Bali, dan kembali ke Jawa Barat melalui jalur selatan. Pengelanaan sang pangeran kelana berjulukan Bujangga Manik itu, harus kita akui sebagai aktivitas wisata/penjelajahan pertama yang tercatat di nusantara oleh pribumi Sunda.
Diperkirakan laporan tersebut ditulis sejak perempat kedua abad ke-15 hingga tahun 1511. Laporannya di buat dalam bentuk sajak, di tulis di daun palem, dan kini tersimpan rapi di Museum Bodleian, Oxford, Inggris. Dalam beberapa penggalan sajaknya, di antaranya sang bujangga menulis sebagai berikut :
“Eta hulu na Ci Sokan neumu lemah kabuyutan/ na lemah nalingga manik/ teherna dek sri maliput/ sermangun nalingga payung/ nyanghareup ka Bahu Mitra/ ku ngaing geus dibabakan/ dibalay diundak-undak/ dibalay sakulilingna/ ti handap ku mungkal datar/ ser mangun ku mungkal bener/ ti luhur ku batu putih / diawuran manik asra/ carenang heuleut-heuleutna/ wangun tujuh guna aing / padanan deung pakayuan...”.
Walaupun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu Cisokan yang disebut Bujangga Manik itu, tetapi di hulu daerah aliran sungai Cisokan-Cikondang, Cianjur, satu-satunya tempat kebuyutan adalah Situs Gunung Padang. Sementara bangunan berundak yang di ditutupi batu (di balay) merupakan ciri khas gunung padang.
Namun anehnya, sang bujangga tidak mengetahui siapa yang membuatnya. Jika seandainya dibangun oleh sri baduga maharaja prabu siliwangi pertama, yakni Ratu Purana Prabu Guru Dewatasrana atau Prabu Siliwangi atau Sang Mokteng Rancamaya (1482-1521) sudah tentu sang bujangga akan tahu, karena dia sendiri termasuk seorang Tohaan (pangeran) Kerajaan Sunda-Padjajaran. Lebih tidak mungkin lagi jika yang membangunnya adalah Sang Nilakendra, karena jaraknya sangat jauh dari tahun laporan itu dibuat.
Kenyataan ini sebenarnya telah mematahkan mitos yang mengatakan situs gunung padang di bangun oleh prabu siliwangi. Namun karena mengingat demikian kuatnya mitos tersebut mempengaruhi asumsi masyarakat. Kami mencoba untuk mengupas kebenarannya melalui perbandingan dari pendapat 2 orang ahli arkeologi Indonesia. Yaitu lutfi yondri dari balai arkeologi bandung dan Agus Arismunandar dari arkeologi UI.

Sebagai tempat pemujaan,

tinggalan megalitik di sebut kabuyutan oleh masyarakat sunda, yang berarti tanah leluhur. Ternyata kisah tentang prabu siliwangi ditemukan hampir di semua kabuyutan yang ada di tatar sunda. Fenomena ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat sunda yang sering menghubung-hubungkan suatu peninggalan masa lalu dengan kisah prabu siliwangi. Dan di gunung padang kasus ini terjadi juga. “Nilai-nilai kesundaan itu sebenarnya dibajukan di situs megalith ini,” ujar pak Lutfi ketika kami wawancarai di kantornya pertengahan Juli lalu.
Beliau menjelaskan, dalam religi Sunda kuno di kenal sistem pembangunan kabuyutan dengan konsep karesian, yaitu membangun suatu tempat suci dengan konsep yang sederhana. Hal ini di pengaruhi oleh pola pemukiman masyarakat Sunda kuno. Pada masa itu masyarakat Sunda kuno hidup dalam kelompok-kelompok kecil, mereka tidak terkonsentrasi pada suatu tempat yang besar seperti masyarakat Jawa. Karena itu kebutuhan mereka untuk tempat menjalankan ritual tidak perlu besar dan biasa-biasa saja.
Sementara itu situs Gunung Padang bukanlah sebuah tempat pemujaan yang sederhana. Bangunan megah ini tentunya membutuhkan tenaga kerja yang banyak dan waktu yang lama dalam pembangunannya. Dan hal ini tidak bersesuaian dengan kondisi masyarakat Sunda kuno pada saat itu. “Oleh sebab itu, tidak mungkin masyarakat sunda kuno yang membangun situs ini,” demikian lutfi menegaskan.
Lain halnya dengan pendapat Agus Arismunandar, menurutnya keberadaan folklore-folklore di masyarakat menjadi suatu pertimbangan yang cukup penting. “Pasalnya, Masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat barat yang menceritakan sejarahnya dalam bentuk tulisan, tapi masyarakat Indonesia menceritakan sejarahnya secara lisan dalam bentuk folklore-folklore.” Ujar Agus.
Adapun melihat filosofi sunda yang memang hanya terdiri dari kelompok kecil bukan menjadi suatu halangan untuk membangun situs gunung padang yang sangat besar. Bahkan bisa saja hal tersebut menjadi alasan bagi kelompok-kelompok kecil pada masyarakat sunda kuno untuk bergotong-royong membangun gunung padang sebagai tempat berkumpulnya kelompok-kelompok kecil tersebut. Bisa jadi tiap komunitas tertentu membangun bagian tertentu dari situs, sehingga semua masyarakat punyai andil disana.
Namun mengenai mitos yang berkaitan dengan prabu siliwangi beliau tidak terlalu yakin juga. Karena tidak ada bukti yang menerangkan bahwa raja sunda ini menyuruh rakyatnya membangun situs gunung padang. Beliau menyimpulkan bahwa pembangunan gunung padang ini adalah berdasarkan azas gotong-royong dengan swadaya dan swakarsa masyarakat sunda kuno. Yang merupakan bentuk dedikasi terhadap karuhun dan sebagai bentuk terima kasih pada alam yang telah memberikan makanan dan kesuburan.
Pernyataan yang beliau lontarkan ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengatakan situs ini dibangun pada masa prasejarah maupun masa sejarah. Dalam hal ini, Agus Arismunandar menegaskan, bahwa untuk mengatakan suatu temuan itu berada pada zaman prasejarah atau sejarah sifatnya relatif. Karena tiap masyarakat itu tidak sama masanya ketika mereka memasuki zaman sejarah.
Contohnya, bangsa Mesir telah memasuki zaman sejarah sejak 4000 SM, sementara masyarakat nusantara kita baru memasuki sejarah pada abad ke-4 masehi. Dalam lingkup yang lebih kecilpun demikian, penemuan prasasti di Kutai belum membuat semua daerah di Nusantara masuk ke sejarah. Masih banyak di tempat lainnya dalam waktu yang sama masih dalam masa prasejarah.
Untuk Gunung Padang beliau memberikan sebuah asumsi bahwa Situs Gunung Padang adalah situs yang berkelanjutan. Peninggalan ini dibangun oleh masyarakat pendukung kebudayaan megalithikum tua yang dapat di kategorikan dalam masa proto sejarah sebagai tempat pemujaan. Tapi tidak diketahui secara pasti suku bangsa mana yang mendirikan dan kapan tahun berdirinya. Seiring berlalunya waktu, masyarakat yang membangunnya mulai meninggalkan situs ini, pergi entah kemana atau menjadi nenek moyang bangsa mana.
Setelah lama terlupakan, gunung padang kemudian ditemukan oleh Bujangga Manik. Mungkin berita yang ia bawa ke istana mengundang keinginan Prabu Siliwangi untuk memanfaatkan situs tersebut. Sejak saat itu situs tersebut dimanfaatkan masyarakat sunda-padjajaran hingga masuknya Islam di tatar sunda. Setelah itu Gunung Padang terlupakan lagi. Hingga di awal abad 20 kabarnya sedikit bergema, lalu tenggelam lagi dalam suasana perjuangan bangsa. Dan akhirnya, baru pada tahun 1979 penemuannya ditanggapi secara serius hingga saat ini.

Keistimewaan situs gunung padang
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan banyak keunikan yang terungkap dari situs ini. Salah satunya mengenai orientasi bangunan yang tidak menghadap gunung, demikian Hokki Situngkir, peneliti dari Bandung FE institute menyebutkan dalam tulisannya.
Saat berkunjung ke sana, kami melihat langsung bahwa gunung padang menghadap ke arah gunung Gede-Pangrango. Posisi ini sesuai dengan filosofi masyarakat animisme-dinamisme yang meyakini gunung-gunung sebagai puncak tertinggi adalah sebuah tempat suci tempat berdiamnya arwah para leluhur. Mengenai orientasi bangunan ini, sebelumnya terdapat perdebatan antara gunung padang yang menghadap ke gunung atau gunung padang tidak menghadap ke gunung.
Ternyata yang membedakan antara keduanya adalah orientasi gunung mana yang dimaksud. Jika penelitian dari Pusat Penelitian Arkeologi tahun 2001 menyatakan bahwa gunung padang tidak menghadap ke gunung, maka gunung yang mereka maksud adalah gunung karuhun (karuhun=nenek moyang) sesuai dengan filosofi sunda. Sedangkan penelitian 2007 yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia menyatakan bahwa gunung padang menghadap ke gunung adalah orientasi yang berpegangan pada gunung Gede-Pangrango.
Gunung Gede-Pangrango memang gunung yang paling tinggi dan paling besar dilihat dari gunung padang. Gunung ini memang telah menjadi gunung kebuyutan dan dianggap suci dan sakral oleh masyarakat Kerajaan Padjajaran. Akan tetapi, juga di anggap sama suci dan sakralnya oleh masyarakat zaman Megalitik.
Selain persoalan orientasi bangunan, para ahli mempertanyakan pula tentang asal muasal batuan yang ada di gunung padang. Melihat batuan sebanyak itu dengan susunannya yang sangat rapih bejajar menghiasi gunung padang tentu menjadi hal yang sangat tepat untuk dicari kebenarannya. Menurut bapak Yunus dari museum Geologi, batuan yang berada di gunung padang termasuk kedalam jenis batuan andesit warna hitam dengan serat yang halus. Batuan ini adalah jenis batuan vulkanik, yang keberadaannya kemungkinan disebabkan lelehan dari gunung ataupun terobosan dari bawah.
Kemudian secara kandungannya, para ahli geologi membandingkan kandungan batuan andesit gunung padang dengan kandungan batuan andesit yang berada disekitar gunung padang. Ternyata memiliki kandungan yang berbeda. Sehingga melihat factor geografisnya gunung padang yang terletak di tempat yang cukup sulit dijangkau, maka mereka menyatakan bahwa situs gunung padang adalah situs insitu atau situs yang dibangun dengan bahan baku yang berasal dari gunung itu sendiri.
Penelitian tersebut didukung oleh pihak Balai Arkeologi Bandung yang telah melakukan eskavasi atau penggalian di situs gunung padang pada pada tahun 2005. dari hasil eskavasi tersebut ternyata pada teras pertama ditemukan batuan yang sama dengan batuan gunung padang.
Mengenai fungsinya, Hokki melontarkan asumsi bahwa situs gunung padang mempunyai fungsi arkeoastronomis. Hokki mengaitkan asumsi tersebut dengan masyarakat austronesia yang membangun situs ini ternyata telah menguasai ilmu perbintangan. Masyarakat austronesia yang berasal dari daratan asia untuk sampai ke nusantara harus melakukan perjalanan laut. Keahlian melaut ini tidak terlepas dari kemampuan mereka dalam membaca pertanda alam yang di sampaikan oleh bintang-bintang di langit. Setelah menetap di daratan nusantara, kemampuan ini dikembangkan lagi untuk menetapkan musim tanam dengam membaca perubahan musim.
Posisi situs yang berada di puncak bukit memberikan kemudahan bagi kita untuk melakukan pengawasan situasi langit dan bumi. Hokki menjelaskan, situs ini digunakan sebagai tempat untuk melakukan pembacaan langit. Setelah mendapat petunjuk-petunjuk tertentu, masyarakat yang ada di sekitar gunung padang akan diberi tahu dengan menggunakan simbol bunyi-bunyian.
Hokki menghubungkan penggunaan bunyian dengan keberadaan 4 balok batu yang tergeletak berhadapan di lokasi teras pertama. Posisinya mirip alat musik gamelan ketika akan dimainkan. Selain bentuknya yang mirip gamelan, 4 balok batu ini memiliki frekuensi yang tinggi dalam interval 2683 Hz – 5171 Hz. Dari sana muncul asumsi batuan itu sebagai alat musik pukul yang mengikuti sebuah tangga nada tertentu.
Batu tersebut berbunyi karena memiliki struktur khusus dengan kandungan yang berbeda-beda. Yang pasti batuan tersebut bersifat andesit, merupakan balok massif, padat dan sangat kompak unsure-unsurnya. Menuju Panjang batu rata-rata satu meter tetapi mempunyai berat yang berbeda-beda antara 90-600 kg. Dan hal yang paling utama, batu tersebut sengaja di ganjal oleh beberapa batu kecil di bawahnya, sehinggga suaranya tidak teredam oleh tanah.
Dalam penelitiannya, Hokki mencoba berasumsi bahwa telah ada tradisi musikal pada masyarakat megalitikum yang membuat situs ini. Dalam penggunaannya, bunyi batuan tersebut punya arti tertentu bagi masyarakat yang tinggal di kaki bukit. Biasanya batuan tersebut dibunyikan pada malam hari. Karena pada malam hari udara bergerak dari puncak bukit ke lembah, hal ini sangat membantu pesan bunyi tersebut sampai ke masyarakat. Karakteristik seperti ini di sebut hokki sebagai ciri situs moondial.
Namun Hokki menekankan bahwa asumsi-asumsi yang dia lontarkan tersebut baru sebatas analisa yang masih perlu didukung dengan penelitian-penelitian lebih lanjut.


Gunung Padang dan Masyarakat di sekitarnya

Tidak jauh dari kaki Gunung Padang, terlihat rumah-rumah kecil berdekatan, terhimpit, namun tidak ada kesan sumpek atau padat. Setiap rumah memiliki keseragaman kondisi fisik; dinding terbuat dari bilik dan lantai terbuat dari kayu (semi rumah panggung). Kebanyakan rumah adalah rumah tua yang sebagian diantaranya merupakan peninggalan orangtua yang diwariskan kepada anaknya. Rumah-rumah ini menyimpulkan hal yang biasa kita lihat di pemukiman penduduk dekat gunung pada umumnya; sederhana dan harmonis.
Desa Cipangulaan, di sinilah masyarakat tinggal dan hidup dekat dengan lokasi situs. Melihat mereka sebagai masyarakat yang tinggal berdekatan dengan benda cagar budaya, tentunya menimbulkan asumsi wajar di benak ini; hubungan kuat diantara keduanya. Namun, ternyata asumsi ini tidak terlihat pada masyarakat sekitar Gunung Padang.
Pesona Gunung Padang yang selama ini cukup terkuak dan banyak dibicarakan oleh orang agaknya tidak atau belum berpengaruh besar bagi masyarakat gunung padang sendiri. Sejak ditemukannya Gunung Padang, banyak orang yang telah melakukan penelitian khusus dan memaparkannya ke dalam media, seperti para arkeolog (sejak tahun 80-an), akademisi, dan wartawan media. Mereka telah mengungkap banyak hal mengenai sejarah dan keberadaan Gunung Padang, sekaligus mengulas dan menganalisa bangunan beserta komponen yang ada di dalamnya. Namun, peranan media dalam mengembangkan pengenalan akan Gunung Padang bagi masyarakat luas ternyata belum mempengaruhi masyarakat sekitar. Penduduk sekitar sebagai “tuan rumah” Gunung Padang banyak yang tidak tahu menahu soal sejarah Gunung Padang. Meskipun setiap situs adalah benda cagar budaya yang memiliki nilai historical tinggi; ada sejarahnya mengapa situs itu ada, namun masyarakat merasa hal itu seperti tidak penting lagi.
Keberadaan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan letak situs pemujaan ini bukan berarti menjamin adanya keterikatan kuat antara Gunung Padang dan masyarakatnya bak tuan rumah dan penghuninya. Keaktifan masyarakat sekitar untuk berinteraksi dengan Gunung Padang sudah sangat menurun dibandingkan dengan dulu.
Selain itu, keberadaan Gunung Padang belum banyak memberi pengaruh bagi masyarakat sekitar. Sedikit pengaruh dapat dilihat dalam bidang ekonomi, namun itupun tidak semua warga bisa merasakannya, sebab hanya sedikit warga yang memiliki profesi terkait Situs Gunung Padang. Masyarakat merasa Gunung Padang sebagai “pesona” hanya bagi orang-orang luar.
Terkait dari esensi Gunung Padang sebagai tempat pemujaan, isu-isu gaib atau mistis yang biasa menjadi asumsi orang-orang selama ini sepertinya tidak terlihat bagi masyarakat sekitar. Mereka merasa tidak pernah mengalami hal-hal gaib terkait Gunung Padang. “Justru biasanya masyarakat luar yang sering mengalami hal-hal mistis dari Gunung Padang”, ungkap Ibu Hj. Norzainab, seorang warga.
Mereka tak sadar atau mungkin terlupa, tanah yang mereka pijak menyimpan pesan rahasia yang sangat berharga. Namun karena tidak mendapatkan manfaatnya, situs gunung padang terkesan biasa saja bagi mereka. Ada atau tiada bagi mereka sama saja, situs Gunung padang, adalah pusaka yang terlupakan.
note :
Tulisan ini pernah diterbitkan di majalah budaya Pesona Nusantara edisi pertama Januari 2010. Observasi untuk tulisan ini saya lakukan bersama teman-teman yang luar biasa, yakni Aminah Agustinah, Dendy Rachmat, dan Elisabet Astilia.

1 komentar:

  1. salam kenal gan..... kalau ke lokasinya harus on foot alias jalan kaki?.......... tempat menginap yang dekat lokasi ada ga?

    www.vrisaba991.blogspot.com

    BalasHapus