Minggu, 15 Agustus 2010

MISTERI INDONESIA DIJAMAN PRASEJARAH



I. Misteri manusia raksasa MEGANTHROPUS ERECTUS


Fossil manusia raksasa yang berukuran tinggi 2,1 - 3,7 meter telah ditemukan di Sangiran pada tahun 1942 oleh Von Koenigswald. Meskipun sejaman dengan Homo Erectus lain seperti Homo Soloensis yang mendiami wilayah tepian Bengawan Solo, keberadaannya belum dapat dijelaskan. Bahkan nama latin spesies ini masih diperdebatkan mau merujuk ke genus mana dalam sistem taksonomi. Peralatan yang digunakan juga berukuran besar.



II. Misteri Manusia Hobbit di Pulau Komodo

Ilmuwan telah menemukan kerangka-kerangka manusia yang menyerupai hobbit (manusia kerdil di Film/Novel Lord of The Ring) yang ukurannya tidak lebih besar dari anak usia 3 tahun di sebuah gua. Manusia kerdil yang memiliki tengkorak seukuran segerombol anggur, hidup dengan gajah purba dan komodo di pulau terpencil di Indonesia sekitar 18.000 tahun yang lalu.

Kerangka yang ditemukan adalah milik seorang wanita dengan tinggi 1 meter, berat sekitar 25 kilogram dan berumur sekitar 30 tahun ketika meninggal 18.000 tahun yang lalu.

Ini adalah temuan spektakuler dan yang paling ekstrim yang pernah diberitakan !!!! Bagaimana tidak? Spesies ini telah mendiami pulau komodo pada masa di mana manusia modern (homo sapiens) juga telah ada di Indonesia (95.000 - 13.000 tahun yang lalu).

Selain menemukan kerangka, ilmuwan juga menemukan peralatan batu seperti pisau, alat pelubang, alat pemotong untuk berburu stegedon (gajah purba).

Banyaknya spesies manusia yang tidak saling berhubungan dalam rantai evolusi menimbulkan tanda tanya, ada berapa jenis makhluk menyerupai manusia yang hidup di Jaman Prasejarah Indonesia... dan mengapa mereka punah tanpa meninggalkan keturunan.

Bila mereka bukan manusia kenapa mereka berkelakuan seperti manusia, yang mampu membuat peralatan dari batu dan tulang, memasak menggunakan tungku api....

Orang-orang purba yang mendiami wilayah Sumatra telah melukiskan sesosok makhluk dengan jengger yang memiliki ekor dan leher yang panjang. Beberapa makhluk ini menyerupai hadrosaurs. Dalam karyas seni purba ini digambarkan bahwa beberapa Corythosaurus sedang diburu oleh orang-orang purba di Indonesia.


Sumber: Art of Indonesia, Tibor Badrogi, 1973


Ini gambar ilustrasi Corythosaurus


Hal ini masih diperdebatkan ahli karena banyak yang beranggapan dinosaurus tidak hidup sejaman dengan manusia purba.....
Quote:
ada yg tau nggak taon berapa ratus indonesia meninggalkan masa prasejarah ? setau gw indonesia termasuk telat banget masuk masa sejarah karena terlambat mengenal baca tulis (cina, sumeria dll udah dari sekian ribu taon sm, indonesia abad ke setian m)2

kalau berdasarkan fakta penemuan artefak memang terlambat gan...
padahal fosil pithecanthropus erectus yang didapatkan di Sangiran, Jawa Tengah adalah termasuk fosil tertua yang berhasil ditemukan di muka bumi, meskipun para ahli menganggap bahwa nenek moyang manusia bukan berasal dari pithecantropus erectus tetapi berasal dari spesies lain di afrika sono.

padahal harusnya peradaban di Indonesia paling gak seumuran dengan bangsa2 sumeria, mesopotamia atau cina dengan menilik penemuan fosil2 yang sangat tua itu. mengingat di daerah2 tersebut atau yangwilayah yang bersekatan juga ditemukan fosil2 manusia purba yang umurnya sangat tua, meskipun lebih tua pithecanthropus erectus.

dengan ditemukannya fosil2 lain yang tidak dapat dijelaskan posisinya dalam proses evolusi dan kepunahan spesiesnya yang misterius, mungkinkah kalau di Indonesia dulunya terjadi bencana alam yang dahsyat sehingga melenyapkan peradaban tinggi yang mungkin dulu pernah ada ???
Seperti teori benua atlantis dulunya berada di wilayah Indonesia sekarang. Mengingat Indonesia berada di 2 lempeng benua yang rawan bencana gempa tektonik yang mampu menimbulkan tsunami dahsyat dan juga banyaknya bekas2 kawah besar seperti danau toba, lembah seputaran candi borobudur, danau kelimutu dan banyak yang lainnya menunjukkan bahwa dahulu kala pernah terjadi letusan2 gunung api yang dahsyat dan mampu menimbulkan gempa volkanik.


candi borobudur yang dipercaya berada di bekas kawas super volcano terbesar di dunia !!!

melihat bekas2 alam di atas sangat mungkin bila pernah terjadi bencana dahsyat di wilayah Indonesia dahulu kala. Kalaupun ada peradaban tinggi yang lenyap akibat bencana tersebut, masih misteri. kalaupun ada bukti gw yakin terpendam jauh di bawah tanah sono karena dahsyatnya bencana.

KERAJAAN ROMAWI DIBANGUN DALAM SATU MALAM?

romawi-kuno

Menurut laporan sebuah situs Amerika, bahwa arkeolog menemukan misteri yang mengejutkan, di mana bukti terbaru akhirnya membuktikan bahwasannya kerajaan Romawi kuno mulai dibangun pada tanggal 13 Agustus tahun 625 SM dan selesai dirampungkan sebelum Matahari terbenam. Ketika wartawan menanyakan kepada mereka di mana mendapatkan bukti-bukti itu, para arkeolog mengeluarkan satu gulungan, yaitu sebuah dokumen dan kontrak yang ditandatangani sendiri oleh Julius Caesar.

Sebagian di dalam kontrak yang berbahasa Latin itu jika diterjemahkan adalah sebagai berikut: “Kami dari perusahaan developer Aljeida Babylon setuju, bahwasannya pada tanggal 13 Agustus tahun 625 SM ini akan mulai bekerja dan merampungkan bangunan kerajaan Romawi, jika kami tidak dapat menyelesaikannya dalam waktu yang ditentukan kerajaan, kemaharajaan Caesar boleh memenggal kepala kami dan berikan kepada singa sebagai santapan.”
Menurut para arkeolog, bahwa bukti ini mutlak berlaku, dan para pekerja ahli pasti dalam waktu satu hari menyelesaikan pembangunan kota Roma, sebab mereka tidak menemukan apa pun sisa fosil kepala yang dipenggal.

Pada kenyataannya, dokumen kemaharajaan Caesar ini sama persis dengan kain pembungkus mayat, bisa dipercaya namun juga meragukan. Dan saat ini, ilmuwan sedang menaksir usia sebenarnya isi gulungan itu yang menggunakan cara penentuan tahun dengan karbon.
Orang-orang mengetahui dari mata pelajaran di sekolah, bahwa wilayah kerajaan Romawi seluas 280 ribu meter persegi, dan di dalamnya termasuk sejumlah kota, kota kecil, beberapa sungai, sejumlah gunung, dan beberapa gedung teater, banyak sekali saluran pipa air, saluran pembuangan air, gerbang lengkung, museum, gereja katedral bersepuh emas, dan pondok piza dan lain sebagainya, yang mana kesemuanya itu harus dalam satu hari, artinya mesti diselesaikan dalam waktu 12 jam, sama sekali di luar imajinasi.

Arsitek bernama Flayter mengatakan, “Dalam waktu satu hari, tim proyek pembangunan saya bahkan tidak bisa menyelesaikan sebuah tembok pembatas kota. Di lihat dari gambar maket kota Roma ini, perusahaan saya harus menghabiskan waktu ratusan tahun baru bisa menyelesaikan seluruh proyek pembangunan kerajaan Roma.”
Jika kondisi yang dilukiskan dokumen tersebut itu benar, maka ilmuwan dan arsitek sekarang akan terperosok lagi ke labirin yang baru, mereka tidak mampu menjelaskan bagaimana orang-orang pada masa itu dapat menyelesaikan pembangunan kerajaan Roma yang luasnya 280 ribu meter persegi itu hanya dalam waktu 12 jam.

Sejarawan Rogyes berpendapat, bahwa semua ini sama seperti bangunan piramida, adalah misteri sepanjang masa, hanya bisa membayangkan bahwa sejumlah benda-benda yang dikuasai orang-orang di masa itu telah hilang tak terwariskan, dan teknologi kita sekarang tidak bisa bersaing dengannya. Pertama-tama mereka membangun piramida, berikutnya mereka membuat patung muka singa berbadan manusia, dan belakangan mereka membangun menara dsb, serta bangunan misterius dan unik yang tak terhitung banyaknya

SAMUDRA RAKSASA DI PERUT BUMI ASIA

Peneliti menemukan samudera raksasa di bawah perut bumi Asia bagian timur. Mengapa disebut raksasa, volumenya diduga mencapai Samudera Arktika, atau sekitar 14 juta kilometer persegi.

Seperti dilansir livescience.com, penemuan itu ditandai dalam bentuk sebuah bagian besar volume air yang ditemukan di bagian mantel atau lapisan Bumi.

Si penemu adalah Michael Wysession, seismologis dari Washington University, St Louis dan mantan mahasiswanya, Jesse Lawrence, yang kini mengambil studi di University of California, San Diego.

Temuan tiga tahun lalu itu akan dipublikasikan dalam monografi di jurnal American Geophysical Union. Temuan itu berasal dari pengamatan seismograms.

Data diambil dari catatan dalam gelombang yang dihasilkan berulang kali terjadinya gempa bumi. Titik-titik itu dikumpulkan dari instrumen yang tersebar di seluruh planet ini.

Keduanya melihat ada sebuah wilayah di bawah Asia yang dapat meredam gelombang seismik. Akibatnya, gelombang seismik itu menjadi "menipis" dan juga membuat getaran semakin lama semakin turun sedikit demi sedikit.

"Air sedikit memperlambat kecepatan gelombang," Wysession menjelaskan.

Pada prediksi penghitungan sebelumnya berlaku, jika lempengan dingin dari dasar laut itu tenggelam ribuan mil ke lapisan bumi, maka suhu panas akan menyebabkan air yang tersimpan di dalam batu menguap keluar.

"Itulah yang kami tunjukkan di sini," kata Wysession. "Air di dalam batu turun dan tenggelam dari lempengan. Itu cukup dingin, tapi semakin dalam semakin panas hingga akhirnya batu itu menjadi tidak stabil dan kehilangan air."

Meskipun mereka tampak padat, komposisi dari beberapa batuan dasar laut itu mencapai sekitar 15 persen air. "Molekul air sebenarnya terjebak dalam struktur mineral batu," Wysession menjelaskan. "Ini seperti tanah liat. "

Para peneliti memperkirakan bahwa di atas kadar 0,1 persen dari batu yang tenggelam ke dalam mantel bumi itu adalah air.

dikupas dari :vivanews.com

PERADABAN SUKU MAYA YANG PUNAH



Memang benar, bangsa Maya tinggal di Amerika Tengah yang sekarang ini, bekas peninggalan sejarah yang misterius berada di dalam hutan belantara yang terpencil dan sepi, sekalipun begitu, ada beberapa orang yang mengetahui, bahwa bangsa Maya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan bangsa Tiongkok dan Mongol di belahan bumi lain yang jauh. Peninggalan batu raksasa dan karya seni bangsa Maya yang mahatinggi, jauh melebihi kehebatan teknologi masa kini. Marilah kita lepaskan prasangka dan persepsi yang telah telanjur tertanam, menyelami kembali bekas kehidupan dan tempat tinggal bangsa Maya, melihat-lihat bagaimana dan apakah sebenarnya bangsa dan kebudayaan Maya.

Proses Penemuan

Bangsa Spanyol masuk ke Amerika Selatan pada abad ke-16, dengan status agresor mereka menjajah daratan yang asli ini. Penduduk Amerika Tengah dan Selatan ketika itu hidup sebagai petani yang primitif, mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi kapal dan meriam kuat bangsa Spanyol. Dan dengan cepat, bangsa Spanyol menyebarkan agama mereka ke tempat tersebut, dua orang misionaris yang melihat kepercayaan takhayul dan ilmu sihir penduduk setempat, segera membakar tempat tersebut, mengakibatkan buku kuno yang disembunyikan semuanya terbakar musnah.



Peta Peradaban Suku Maya

Tidak disangka bahwa buku-buku tersebut adalah buku kuno yang mencatat pusaka pengetahuan peninggalan kebudayaan bangsa Maya yang telah lama menghilang, di dalamnya tercatat secara terperinci tingkat ilmu pengetahuan dan budaya mereka yang mahatinggi pada masa itu. Mungkin demikianlah takdirnya, kini para ilmuwan yang menyelidiki kebudayaan Maya hanya bisa menggambarkan kehebatan budaya Maya saat itu secara tambal sulam berdasarkan potongan naskah yang berhasil dikumpulkan.

Bebatuan Raksasa di Hutan

Piramida bangsa Maya dapat dikatakan merupakan bangunan piramida kedua yang terkenal setelah piramida di Mesir. Kedua jenis bangunan piramida ini terlihat tidak begitu sama, warna piramida Mesir adalah kuning keemasan, sebuah piramida bersudut empat yang berbentuk kerucut, agak terkikis setelah berabad-abad tertiup angin dan diterpa hujan. Piramida Maya lebih rendah sedikit, disusun dari bebatuan raksasa yang berwarna abu-abu dan putih, tidak semuanya berbentuk kerucut, di puncaknya ada sebuah balairung untuk memuja dewa. Di sekeliling piramida Maya masing-masing memiliki 4 tangga, setiap tangga memiliki 91 undakan, secara total 4 buah tangga ditambah satu undakan bagian paling atas adalah berjumlah 365 undakan (91 x 4 + 1 = 365), tepat merupakan jumlah hari dalam satu tahun.
Bangsa Maya sangat memperhatikan ilmu perbintangan, baik di dalam maupun di luar bangunan semuanya adalah angka yang berhubungan dengan hukum peredaran benda langit. Selain jumlah undakan tangga, pada 4 bagian piramida masing-masing terdapat 52 buah relief 4 sudut, menandakan satu abad bangsa Maya adalah 52 tahun.
Observatorium astronomi bangsa Maya juga memiliki bentuk bangunan yang sangat spesifik. Dilihat dari sudut pandang masa kini, secara fungsional maupun bentuk luar observatorium bangsa Maya sangat mirip dengan observatorium masa kini, sebagai contoh misalnya menara pengamat observatorium Kainuoka, di atas teras yang indah dan sangat besar pada menara tersebut, terdapat undakan kecil bertingkat-tingkat yang menuju ke teras. Ada beberapa kemiripan dengan observatorium sekarang, juga merupakan sebuah bangunan tingkat rendah yang berbentuk tabung bundar, pada bagian atas terdapat sebuah kubah yang berbentuk setengah bola, kubah ini dalam rancangan observatorium sekarang adalah tempat untuk menjulurkan teropong astronomi. Empat buah pintu di lantai yang rendah tepat mengarah pada 4 posisi. Jendela di tempat itu membentuk 6 jalur hubungan dengan serambi muka, paling sedikit tiga di antaranya berhubungan dengan astronomi. Salah satunya berhubungan dengan musim semi (musim gugur), sedangkan dua lainnya berhubungan dengan aktivitas bulan.
Menara pengamat observatorium Kainuoka ini adalah peninggalan terbesar dalam sejarah, peninggalan sejarah yang lain juga memiliki bangunan yang serupa. Semuanya dalam posisi yang saling merapat dengan matahari dan bulan. Belakangan ini arkeolog beranggapan bahwa astronom bangsa Maya pada zaman purbakala telah membangun jaringan pengamat astronomi pada setiap wilayahnya.



Sebuah Monumen Kuno Suku Maya

Dinilai pada masa kini, bangunan tersebut cukup menakjubkan. Piramida Maya misalnya, bagaimanakah caranya memotong bebatuan berukuran sangat besar, diangkut ke tempat yang jauh dalam hutan belantara, bebatuan yang beratnya puluhan ton, ditumpuk hingga mencapai tinggi 70 meter, jika tidak ditunjang dengan alat angkut dan peralatan yang memadai, adalah sangat sulit untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Dan suku bangsa yang hidup dalam hutan belantara, mengapa harus mengerahkan upaya dan tenaga sedemikian besar, membangun sebuah jaringan pengamat observatorium? Ditilik dari sejarah, teleskop baru ditemukan pada abad ke-16 oleh Galileo, setelah itu barulah muncul observatorium ukuran besar, dan konsep jaringan pengamat observatorium baru muncul pada zaman modern. Kala itu konsep yang demikian dapatlah dikatakan sangat maju dan canggih.
Hilang Secara Misterius
Lembaran budaya cemerlang yang ditulis bangsa Maya untuk sejarah manusia, telah kita ketahui tingkat keanggunannya. Arkeolog menganggap, kebudayaan bangsa Maya semestinya secara perlahan-lahan terbentuk sejak tahun 2000 SM hingga masa tahun 250 M, setelah tahun 250 M hingga masa tahun 900 M, budaya tersebut memasuki masa keemasan, dan pada abad ke-7 dan 8, memasuki masa yang sangat makmur dan sejahtera.
Tulisan paling dini bangsa Maya muncul menjelang dan sekitar Masehi, namun batu prasasti pertama yang tergali memperlihatkan catatan yang menulis tahun 292 M. Sejak itu, tulisan bangsa Maya hanya tersebar pada areal terbatas. Dan pada tarikh Masehi setelah pertengahan abad ke-5, tulisan bangsa Maya baru secara menyeluruh tersebar ke semua kawasan Maya. Misalnya batu prasasti terakhir diselesaikan pada 869 M, dan batu prasasti terakhir di seluruh kawasan Maya diselesaikan pada 909 M.



Menurut data penelitian: "Suatu hari di tahun 909 M, tanpa sebab yang jelas, 80% bangsa kuno Maya tiba-tiba saja menghilang, tidak hanya meninggalkan kuil yang belum selesai dibangun, bahkan sejumlah besar balairung dewa dan bangunan model raksasa semuanya ditinggalkan begitu saja, terbenam dalam reruntuhan tembok yang roboh. Semua pusat pemujaan juga terhenti aktivitasnya. Kemudian, sejak hari itu, kebijaksanaan leluhur lenyap dengan sangat cepat, dan bangsa Maya yang tertinggal pun mulai berubah menjadi buta pengetahuan dan merosot moralnya."
Dari bukti penelitian ilmuwan ini, kita dapat memberikan penjelasan yang rasional: Setelah mengalami perkembangan budaya yang tinggi, dikarenakan perkembangan budaya materi, kehidupan bangsa Maya kuno lambat laun merosot, menuju kemerosotan moral masyarakat. Lalu sebagian yang masih disebut kebijaksanaan leluhur itu, pada kenyataannya adalah sekelompok orang yang telah jatuh merosot moralnya, mereka mendorong perkembangan hal yang tidak baik, membuat segenap masyarakat bangsa Maya kuno mengarah menuju kepunahan!
Meskipun terdapat sejumlah dokumen yang tersisa, namun sangat sulit bagi kita untuk memastikan peristiwa mengerikan apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 909 M itu, berbagai macam versi hipotesa tentang kepunahan bangsa Maya, misalnya banjir, gempa bumi, angin topan, bencana maupun pendapat lainnya tentang wabah, keracunan massal, penyakit menular, bahkan dikatakan populasi yang membengkak, pembakaran hutan secara berulang kali untuk bercocok tanam yang mengakibatkan tanah gersang, ataupun bencana ekonomi, bahkan dikatakan invasi musuh, perang antarkota, pemberontakan kaum petani maupun masalah sosial seperti bunuh diri massal, dan pendapat lain yang tak terhitung jumlahnya.



Apa pun penyebabnya sama sekali tidaklah penting, intinya adalah sejarah sekali lagi telah mempertahankan orang yang baik dan sederhana, sedangkan sebutan "buta pengetahuan dan merosot moralnya" yang digunakan untuk melukiskan keturunan bangsa Maya, hanyalah kaidah yang dilihat oleh mata manusia masa kini, sangat lugu dan baik seperti tidak berpengetahuan, tidak tahu mengejar keuntungan mendatangkan keputusasaan. Pertanyaannya adalah mengapa sejarah manusia lagi-lagi mencatat lenyapnya umat manusia yang disebut sebagai "kebijaksanaan leluhur"?

BURUNG GARUDA,LAMBANG NEGARA KITA BUKANLAH MITOS SEMATA

ELANG JAWA, LAMBANG NEGARA YANG HARUS DIJAGA

Adakah di antara kita yang tidak tahu apa lambang negara RI?

Pastilah semua tahu, kecuali mungkin saudara-saudara kita yang hidup sebagai suku terasing di pedalaman, dan yang belum melek huruf. Saya selalu bangga memandang burung garuda yang dengan gagah mengembangkan sayapnya, yang kedua kakinya mencengkeram pita bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika”, dan yang di dadanya tergantung perisai berlambang Pancasila. Apalagi jika kita berada di negeri orang yang jauh, memandang lambang negara kita sungguh membuat hati terharu.



Nah, dimanakah kita bisa melihat burung garuda yang asli, yang terbang mengepakkan sayapnya dengan gagah di atas bumi Indonesia? Apakah burung garuda itu benar-benar ada, atau hanya legenda yang hidup di alam khayal para pendiri negara kita dulu, yang dipetik dari kisah mitos dalam buku cerita?



Burung garuda itu benar-benar ada, disebut Elang Jawa atau Spizaetus Bartelzi. Ia hidup di hutan hujan tropis yang ada di Jawa, di puncak-puncak pohon yang tingginya 20 – 30 meter di atas permukaan tanah. Jika tidak di hutan yang merupakan habitat aslinya, Elang Jawa bisa kita jumpai terkurung di kandang para kolektor burung langka, di dalam kantong kain para pemburu burung, atau terpuruk di kandang sempit, di lorong kumuh pasar burung Ngasem (Yogya) atau pasar Pramuka (Jakarta).

Tragis? Itulah realita yang dialami burung yang menjadi lambang negara kita …




Burung Elang Jawa adalah yang disebut sebagai Garuda, simbol negara kita (foto : indrakila.com )

Jika menilik kembali ke lambang negara kita, siapakah sebenarnya pencipta Garuda Pancasila? Beliau adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Beliau lahir pada tanggal 12 Juli 1913, dan wafat pada tanggal 30 Maret 1978. Sultan Hamid II memiliki sejarah panjang dalam perjuangan kemerdekaan RI. Beliau memiliki pendidikan militer di KMA Breda, Belanda, ikut terlibat dalam perang-perang kemerdekaan, maupun perundingan-perundingan antara Indonesia dan Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, Sultan Hamid II menjadi salah satu pejabat penting pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, yaitu Menteri Negara RIS. Melalui serangkaian proses yang cukup panjang, lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila ciptaan Sultan Hamid II diperkenalkan oleh Presiden Soekarno untuk pertama kalinya di Hotel Des Indes Jakarta (Hotel Indonesia yang — sangat menyedihkan — sekarang sudah almarhum, dijual oleh Megawati sewaktu menjadi Presiden RI) pada 15 Februari 1950.



Sultan Hamid II, desain awal Garuda Pancasila, dan desain final yang kita pakai hingga sekarang.

Burung Elang, Rajawali, Garuda, atau Eagle, menjadi lambang negara bukan saja Indonesia, tetapi sedikitnya 27 negara lain di dunia. Kegagahan dan kemegahan burung ini diakui berbagai bangsa di dunia, sehingga dijadikan sebagai lambang negara yang dibanggakan dan dihormati.



Elang, Rajawali, atau Eagle, menjadi lambang negara Amerika Serikat (kiri) dan Mesir (kanan)

Semoga Elang Jawa tetap hidup di Indonesia. Semoga legenda hidup yang menjadi lambang negara ini tidak punah di habitat aslinya, dan tidak berakhir tragis, kehilangan jati dirinya sebagai elang di kandang burung !

Garudaku, Terbanglah Tinggi di Angkasa … Tuti Nonka's Veranda

Tambahan...

menurut mitologi kebudayaan hindu..
garuda dijelaskan sebagai dewa berwujud setengah manusia dan setengah burung..
tapi apakah yang digambarkan dalam lambang negara kita, garuda berbentuk seperti yang digambarkan mitologi hindu..??
memiliki tubuh layaknya manusia tapi berkepala seperti burung..!!
itulah mengapa garuda dalam kontek arti lambang negara dengan mitologi hindu berbeda..!!
garuda dalam artian hindu adalah dewa..!!
sedangkan garuda dalam artian lambang negara kita adalah sesosok yang menyerupai burung elang jawa..!!

TABIR MISTERISITUS MEGALITHIC GUNUNG PADANG


Adalah Gunung Padang, sebuah bukit kecil yang berdiri memancang bumi pada koordinat 6°57’ LS - 107°1’ BT, sekitar 50 Km sebelah Barat Daya Kota Cianjur. Tepatnya di Desa Cimenteng, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Di puncak bukit ini berdiri sebuah situs megalithic yang telah menyita perhatian peneliti dari berbagai instansi sejak penemuannya tahun 1979 lalu. Situs Megalithic Punden Berundak Gunung Padang, sebuah situs yang masih menyembunyikan rahasia besar tentang kisah kehidupan masa lalu para pendahulu kita.
Situs ini sebenarnya pernah di catat oleh N.J. Krom dalam bukunya “ rapporten van den oudhei kundingen dients in nederlandsch-indie 1914.” Namun tidak dilanjutkan dengan riset mendalam setelah itu, hingga akhirnya informasi tersebut terlupakan. Pada tahun 1979 berita tentang situs Gunung Padang mencuat lagi setelah adanya laporan dari 3 orang penduduk sekitar Gunung Padang. Mereka adalah pak Endi, Soma dan Abidin yang telah melaporkan ke penilik kebudayaan Kecamatan Campaka.
Sejak itulah kemudian berturut-turut dilakukan pemetaan, penggambaran, dan deskripsi. Baik oleh DP3SP yang sekarang bernama Direktorat Sejarah dan Purbakala, Pusat Pengembangan Arkeologi Nasional yang sekarang bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, dan kemudian di lanjutkan oleh Disbudpar Provinsi Jabar(2001), Balai Arkeologi Bandung(2002,2004,2005), dan Bandung FE Institute(2008).

Situs megalitik punden berundak Gunung Padang ini terletak memanjang ke arah Tenggara Barat Laut pada ketinggian 885 meter di atas permukaan laut dari perhitungan altimeter. Karena letaknya ada di puncak bukit, untuk naik ke situs ini, kita harus menaiki ratusan anak tangga dari batu yang sangat curam dengan tinggi sekitar 75 meter dan panjangnya lebih kurang 150 meter.
Situs ini terdiri atas lima teras (tingkatan) dan memiliki luas yang berukuran raksasa, jika di bandingkan dengan situs punden berundak lain di dunia, yaitu 3132,15 m2. Bangunannya menghadap ke arah jurusan 3350, mulai dari teras pertama hingga teras kelima. Secara arsitektural ketinggian bangunan meningkat, mulai dari teras satu ke teras kelima.
Lokasi situs ini dikelilingi oleh bukit-bukit(“pasir”: bhs. Sunda) dengan lembah-lembah yang dalam sebagai perantaranya. Di sebelah Barat Laut Gunung Padang terdapat lembah yang dalam, memanjang dari Barat Daya-Timur Laut. Di pinggiran lembah itulah terdapat Desa Cimanggu, Ciwangun, dan Cipangulaan yang merupakan desa terdekat dengan situs Gunung Padang. Daerah ini juga dilalui oleh sungai Cicohang di sebelah Barat Laut dan Cimanggu di sebelah Timur. Lahan yang subur di dasar lembah dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat bersawah.
Di arah Timur Laut, terlihat Pasir Malang yang membentang hingga Pasir Emped di arah Selatan, dan terus berlanjut dengan Pasir Karuhun di arah Barat Gunung Padang. Di arah Utara, berdiri Pasir Batu yang segaris lurus di depan Gunung Padang. Pasir Pogor dan Pasir Gombong berdiri di belakangnya sedikit ke arah Barat Laut, dan di teruskan oleh Gunung Melati di sebelah Tenggara. Jika diperhatikan dengan seksama, posisi situs gunung padang berada tepat di tengah-tengah. Pasir-pasir ini terlihat mengitari Gunung Padang bagaikan sebuah lingkaran dinding penjaga. Pemilihan lokasi yang istimewa ini sebenarnya menggambarkan betapa pentingnya situs ini bagi pendirinya di masa lalu. Karena bagi mereka situs ini adalah kunci keberlangsungan hidup yang sangat berharga.

Warisan Peradaban Austronesia

Melihat lokasi situs yang sangat strategis seperti ini, hal pertama yang membuat kita kagum adalah betapa cerdasnya para pendiri situs ini memilih puncak Gunung Padang. Dengan lembah subur yang menjamin kemakmuran bagi masyarakatnya, mata air yang tidak berhenti sepanjang tahun, lingkaran bukit yang memberikan ketenangan dan perasaan aman dari gangguan luar, di tambah sebuah tempat memuja di puncak bukit yang terjaga. Benar-benar sebuah pilihan yang luar biasa. Sang arsitek yang telah memilih bukit ini, mungkin melalui survei lama dan penjelajahan yang sangat jauh
Ternyata pilihan-pilihan tersebut mengarahkan kita pada persoalan siapakah gerangan orang cerdas pendiri situs gunung padang ini. Kajiannya kita arahkan pada karakteristik tinggalan dan model pemilihan lokasi pembangunan pada zaman megalitikum. Hal ini berkaitan dengan bagaimana masyarakat pendukung tradisi megalitikum memilih suatu lokasi sebagai tempat permukiman yang tepat bagi mereka.
Masyarakat megalithic pada dulunya sangat tergantung dengan alam sekitar, dan terikat erat dengan arwah leluhurnya. Alam yang ramah sangat menunjang kehidupan mereka, karena itu mereka memilih lokasi yang subur dengan mata air yang cukup. Namun dalam keyakinan mereka, factor yang mempengaruhi kebaikan alam adalah pertolongan dari arwah leluhur.
Oleh karena itu, mereka membina hubungan baik dengan para leluhur tersebut dengan membangun tempat pemujaan untuk leluhur. Dalam konsep mereka, tempat yang tinggi adalah tempat bersemayamnya arwah leluhur. Itulah sebabnya mereka membangun tempat pemujaan di puncak-puncak yang tinggi.
Akan tetapi gunung padang bukan tempat penguburan leluhur. N.J. Krom yang menemukannya di tahun 1914 menyangka tempat itu adalah lokasi pemujaan yang ada kuburannya. Namun setelah beberapa kali proses penggalian, tidak di temukan tanda-tanda penguburan seperti kerangka tulang misalnya, kecuali beberapa gerabah polos untuk alat ritual.
Dalam tulisannya tentang teknologi, sumber bahan, dan pola susunan balok batu bangunan punden berundak gunung padang, Lutfi Yondri, peneliti dari Balai Arkeologi Bandung, menjelaskan bahwa dari 3 kebutuhan dasar manusia dapat bertahan hidup di alam, yang berkaitan erat secara langsung dengan budaya dalam konteks permukiman di masa lalu adalah kebutuhan dasar untuk memilih.
Kemampuan tersebut tidak hanya di tujukan untuk pemenuhan kelangsungan hidup hayati, tetapi juga ditujukan untuk mengekspresikan kebudayaan. Dalam hal ini, keterkaitan bahan yang di gunakan untuk membangun atau membuat satu bentuk budaya materi akan di hadapkan pada factor lingkungan alam yang ada di sekitarnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, di masa lalu untuk pemenuhan kebutuhan kebudayaan khususnya yang berkaitan dengan aspek religi yang berkaitan dengan pengagungan arwah leluhur, masyarakat pendukung budaya megalitik yang hidup di kawasan Gunung Padang mengolah kawasan gunung padang dan kemudian menjadikannya sebagai bangunan punden berundak tempat pemujaan arwah leluhur, (Lutfi Yondri, 2007).
Lutfi juga menerangkan bangunan punden berundak sebagai salah satu jenis tinggalan zaman megalitikum, menunjukan identitasnya yang berasal dari zaman megalitikum tua, sekitar masa 3000-1500 sebelum masehi. Hal ini berkaitan dengan ciri peninggalan megalitikum tua yang sifatnya tinggalan monumental. Sementara tinggalan megalitikum muda kebanyakan ornament kecil.
Adapun arsitek cerdas yang membangunnya adalah masyarakat pendukung budaya megalitik tua yang berasal dari keturunan ras austronesia. Mereka merupakan nenek moyang manusia modern di Nusantara yang datang pada gelombang pertama perpindahan ras austronesia dari dataran tinggi Yunan di Asia Daratan.

Sementara itu cerita yang berkembang di masyarakat berbeda halnya. Sebagai sebuah peninggalan di tatar Sunda, situs ini tidak terlepas dari mitos-mitos yang selalu terkait dengan keberadaan Prabu Siliwangi. Dan biasanya mitos-mitos itu ada dalam beberapa versi yang berbeda. Dalam sebuah kesempatan, abah Dadi, juru pelihara sekaligus kuncen situs ini bercerita kepada kami.
Alkisah di masa lalu, pada masa raja-raja masih berjaya di bumi Nusantara. Di tatar Sunda bertakhta seorang raja agung dengan gelar Prabu Siliwangi. Sebagai seorang raja, beliau sangat arif dan bijaksana dalam memerintah, hingga rakyatnya pun mencintainya dengan khidmat dan rasa bangga. Suatu ketika, sang prabu berniat membangun tempat suci sebagai tempat peribadatan dan tempat ngahyangnya kelak.
Setelah lama mencari, di temukanlah puncak Gunung Padang sebagai tempat yang sesuai. Karena letak Gunung Padang di anggap sebagai titik pusat dari kerajaan Sunda-Padjajaran yang di perintahnya. Setelah itu dibangunlah tempat suci tersebut dengan persyaratan selesai dalam waktu semalam. Namun katanya, tidak sempat selesai karena pagipun keburu datang. Dan akhirnya, sang prabu pun menghilang disana.
Masyarakat Sunda mempercayai tempat tersebut sebagai tempat bersemayamnya Eyang Prabu Siliwangi hingga sekarang. Dari mitos ini juga lahirnya nama Gunung Padang. Dalam bahasa sunda secara etimologis gunung berarti tinggi, sedangkan padang sama dengan caang yang artinya terang.
Sementara dalam mitos versi kedua, Prabu Siliwangi tidak mendirikan situs ini dalam semalam. Setelah meninggalkan Keraton Pakuan yang di serang oleh pasukan Banten. Prabu Siliwangi mencari tempat yang sepi untuk tempat memerintah. Kemudian di pilihlah gunung padang sebagai lokasi yang sesuai. Setelah didirikan punden berundak di puncak Gunung Padang, sang prabu menggunakan tempat tersebut untuk memberikan wejangan kepada rakyatnya untuk melakukan perpindahan ke tempat baru. Ada yang di arahkan ke Sumedanglarang, Banten, dan Baduy. Setelah itu sang prabu ngahyang di gunung padang tersebut.
Akibat berkembangnya kedua mitos ini kerapkali timbul kerancuan dalam mengkategorikan situs ini sejarah atau prasejarah. Karena jika ditilik dari sisi arkeologisnya, situs ini menunjukan ciri tinggalan kebudayaan megalitikum tua. Dan di kategorikan dalam situs prasejarah karena tidak meninggalkan tulisan, mayoritas arkeolog sepakat untuk hal ini. Namun mitos prabu siliwangi yang notabenenya berasal dari kerajaan Padjajaran, telah mempengaruhi beberapa asumsi yang menganggap situs ini di bangunnya pada masa sejarah.

Gunung Padang Dalam Sejarah Sunda
Jika ditilik sejarah kerajaan sunda dari kitab Carita Parahyangan. Di sana diceritakan bahwa dalam masa pemerintahannya Prabu Ratu Carita atau Sang Nilakendra atau Sang Mokteng Majaya(1551-1567 M) pernah membuat taman yang dibalay (diperkeras dengan batu). Namun tidak disebutkan gunanya untuk apa sebenarnya. Bagi pendukung asumsi gunung padang dibangun pada masa sejarah, cerita ini sering dijadikan landasan pendapatnya.
Namun ada bukti tertulis lain yang menyangkal, yaitu laporan pejalanan seorang pelancong sunda., Bujangga Manik orangnya. Adalah seorang pangeran kelana pencari ilmu dari Kerajaan Sunda pada sekira akhir abad ke-15, pernah menjelajahi Pulau Jawa dan mengunjungi tempat-tempat keramat sepanjang pantai utara, menyeberang ke Pulau Bali, dan kembali ke Jawa Barat melalui jalur selatan. Pengelanaan sang pangeran kelana berjulukan Bujangga Manik itu, harus kita akui sebagai aktivitas wisata/penjelajahan pertama yang tercatat di nusantara oleh pribumi Sunda.
Diperkirakan laporan tersebut ditulis sejak perempat kedua abad ke-15 hingga tahun 1511. Laporannya di buat dalam bentuk sajak, di tulis di daun palem, dan kini tersimpan rapi di Museum Bodleian, Oxford, Inggris. Dalam beberapa penggalan sajaknya, di antaranya sang bujangga menulis sebagai berikut :
“Eta hulu na Ci Sokan neumu lemah kabuyutan/ na lemah nalingga manik/ teherna dek sri maliput/ sermangun nalingga payung/ nyanghareup ka Bahu Mitra/ ku ngaing geus dibabakan/ dibalay diundak-undak/ dibalay sakulilingna/ ti handap ku mungkal datar/ ser mangun ku mungkal bener/ ti luhur ku batu putih / diawuran manik asra/ carenang heuleut-heuleutna/ wangun tujuh guna aing / padanan deung pakayuan...”.
Walaupun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu Cisokan yang disebut Bujangga Manik itu, tetapi di hulu daerah aliran sungai Cisokan-Cikondang, Cianjur, satu-satunya tempat kebuyutan adalah Situs Gunung Padang. Sementara bangunan berundak yang di ditutupi batu (di balay) merupakan ciri khas gunung padang.
Namun anehnya, sang bujangga tidak mengetahui siapa yang membuatnya. Jika seandainya dibangun oleh sri baduga maharaja prabu siliwangi pertama, yakni Ratu Purana Prabu Guru Dewatasrana atau Prabu Siliwangi atau Sang Mokteng Rancamaya (1482-1521) sudah tentu sang bujangga akan tahu, karena dia sendiri termasuk seorang Tohaan (pangeran) Kerajaan Sunda-Padjajaran. Lebih tidak mungkin lagi jika yang membangunnya adalah Sang Nilakendra, karena jaraknya sangat jauh dari tahun laporan itu dibuat.
Kenyataan ini sebenarnya telah mematahkan mitos yang mengatakan situs gunung padang di bangun oleh prabu siliwangi. Namun karena mengingat demikian kuatnya mitos tersebut mempengaruhi asumsi masyarakat. Kami mencoba untuk mengupas kebenarannya melalui perbandingan dari pendapat 2 orang ahli arkeologi Indonesia. Yaitu lutfi yondri dari balai arkeologi bandung dan Agus Arismunandar dari arkeologi UI.

Sebagai tempat pemujaan,

tinggalan megalitik di sebut kabuyutan oleh masyarakat sunda, yang berarti tanah leluhur. Ternyata kisah tentang prabu siliwangi ditemukan hampir di semua kabuyutan yang ada di tatar sunda. Fenomena ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat sunda yang sering menghubung-hubungkan suatu peninggalan masa lalu dengan kisah prabu siliwangi. Dan di gunung padang kasus ini terjadi juga. “Nilai-nilai kesundaan itu sebenarnya dibajukan di situs megalith ini,” ujar pak Lutfi ketika kami wawancarai di kantornya pertengahan Juli lalu.
Beliau menjelaskan, dalam religi Sunda kuno di kenal sistem pembangunan kabuyutan dengan konsep karesian, yaitu membangun suatu tempat suci dengan konsep yang sederhana. Hal ini di pengaruhi oleh pola pemukiman masyarakat Sunda kuno. Pada masa itu masyarakat Sunda kuno hidup dalam kelompok-kelompok kecil, mereka tidak terkonsentrasi pada suatu tempat yang besar seperti masyarakat Jawa. Karena itu kebutuhan mereka untuk tempat menjalankan ritual tidak perlu besar dan biasa-biasa saja.
Sementara itu situs Gunung Padang bukanlah sebuah tempat pemujaan yang sederhana. Bangunan megah ini tentunya membutuhkan tenaga kerja yang banyak dan waktu yang lama dalam pembangunannya. Dan hal ini tidak bersesuaian dengan kondisi masyarakat Sunda kuno pada saat itu. “Oleh sebab itu, tidak mungkin masyarakat sunda kuno yang membangun situs ini,” demikian lutfi menegaskan.
Lain halnya dengan pendapat Agus Arismunandar, menurutnya keberadaan folklore-folklore di masyarakat menjadi suatu pertimbangan yang cukup penting. “Pasalnya, Masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat barat yang menceritakan sejarahnya dalam bentuk tulisan, tapi masyarakat Indonesia menceritakan sejarahnya secara lisan dalam bentuk folklore-folklore.” Ujar Agus.
Adapun melihat filosofi sunda yang memang hanya terdiri dari kelompok kecil bukan menjadi suatu halangan untuk membangun situs gunung padang yang sangat besar. Bahkan bisa saja hal tersebut menjadi alasan bagi kelompok-kelompok kecil pada masyarakat sunda kuno untuk bergotong-royong membangun gunung padang sebagai tempat berkumpulnya kelompok-kelompok kecil tersebut. Bisa jadi tiap komunitas tertentu membangun bagian tertentu dari situs, sehingga semua masyarakat punyai andil disana.
Namun mengenai mitos yang berkaitan dengan prabu siliwangi beliau tidak terlalu yakin juga. Karena tidak ada bukti yang menerangkan bahwa raja sunda ini menyuruh rakyatnya membangun situs gunung padang. Beliau menyimpulkan bahwa pembangunan gunung padang ini adalah berdasarkan azas gotong-royong dengan swadaya dan swakarsa masyarakat sunda kuno. Yang merupakan bentuk dedikasi terhadap karuhun dan sebagai bentuk terima kasih pada alam yang telah memberikan makanan dan kesuburan.
Pernyataan yang beliau lontarkan ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengatakan situs ini dibangun pada masa prasejarah maupun masa sejarah. Dalam hal ini, Agus Arismunandar menegaskan, bahwa untuk mengatakan suatu temuan itu berada pada zaman prasejarah atau sejarah sifatnya relatif. Karena tiap masyarakat itu tidak sama masanya ketika mereka memasuki zaman sejarah.
Contohnya, bangsa Mesir telah memasuki zaman sejarah sejak 4000 SM, sementara masyarakat nusantara kita baru memasuki sejarah pada abad ke-4 masehi. Dalam lingkup yang lebih kecilpun demikian, penemuan prasasti di Kutai belum membuat semua daerah di Nusantara masuk ke sejarah. Masih banyak di tempat lainnya dalam waktu yang sama masih dalam masa prasejarah.
Untuk Gunung Padang beliau memberikan sebuah asumsi bahwa Situs Gunung Padang adalah situs yang berkelanjutan. Peninggalan ini dibangun oleh masyarakat pendukung kebudayaan megalithikum tua yang dapat di kategorikan dalam masa proto sejarah sebagai tempat pemujaan. Tapi tidak diketahui secara pasti suku bangsa mana yang mendirikan dan kapan tahun berdirinya. Seiring berlalunya waktu, masyarakat yang membangunnya mulai meninggalkan situs ini, pergi entah kemana atau menjadi nenek moyang bangsa mana.
Setelah lama terlupakan, gunung padang kemudian ditemukan oleh Bujangga Manik. Mungkin berita yang ia bawa ke istana mengundang keinginan Prabu Siliwangi untuk memanfaatkan situs tersebut. Sejak saat itu situs tersebut dimanfaatkan masyarakat sunda-padjajaran hingga masuknya Islam di tatar sunda. Setelah itu Gunung Padang terlupakan lagi. Hingga di awal abad 20 kabarnya sedikit bergema, lalu tenggelam lagi dalam suasana perjuangan bangsa. Dan akhirnya, baru pada tahun 1979 penemuannya ditanggapi secara serius hingga saat ini.

Keistimewaan situs gunung padang
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan banyak keunikan yang terungkap dari situs ini. Salah satunya mengenai orientasi bangunan yang tidak menghadap gunung, demikian Hokki Situngkir, peneliti dari Bandung FE institute menyebutkan dalam tulisannya.
Saat berkunjung ke sana, kami melihat langsung bahwa gunung padang menghadap ke arah gunung Gede-Pangrango. Posisi ini sesuai dengan filosofi masyarakat animisme-dinamisme yang meyakini gunung-gunung sebagai puncak tertinggi adalah sebuah tempat suci tempat berdiamnya arwah para leluhur. Mengenai orientasi bangunan ini, sebelumnya terdapat perdebatan antara gunung padang yang menghadap ke gunung atau gunung padang tidak menghadap ke gunung.
Ternyata yang membedakan antara keduanya adalah orientasi gunung mana yang dimaksud. Jika penelitian dari Pusat Penelitian Arkeologi tahun 2001 menyatakan bahwa gunung padang tidak menghadap ke gunung, maka gunung yang mereka maksud adalah gunung karuhun (karuhun=nenek moyang) sesuai dengan filosofi sunda. Sedangkan penelitian 2007 yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia menyatakan bahwa gunung padang menghadap ke gunung adalah orientasi yang berpegangan pada gunung Gede-Pangrango.
Gunung Gede-Pangrango memang gunung yang paling tinggi dan paling besar dilihat dari gunung padang. Gunung ini memang telah menjadi gunung kebuyutan dan dianggap suci dan sakral oleh masyarakat Kerajaan Padjajaran. Akan tetapi, juga di anggap sama suci dan sakralnya oleh masyarakat zaman Megalitik.
Selain persoalan orientasi bangunan, para ahli mempertanyakan pula tentang asal muasal batuan yang ada di gunung padang. Melihat batuan sebanyak itu dengan susunannya yang sangat rapih bejajar menghiasi gunung padang tentu menjadi hal yang sangat tepat untuk dicari kebenarannya. Menurut bapak Yunus dari museum Geologi, batuan yang berada di gunung padang termasuk kedalam jenis batuan andesit warna hitam dengan serat yang halus. Batuan ini adalah jenis batuan vulkanik, yang keberadaannya kemungkinan disebabkan lelehan dari gunung ataupun terobosan dari bawah.
Kemudian secara kandungannya, para ahli geologi membandingkan kandungan batuan andesit gunung padang dengan kandungan batuan andesit yang berada disekitar gunung padang. Ternyata memiliki kandungan yang berbeda. Sehingga melihat factor geografisnya gunung padang yang terletak di tempat yang cukup sulit dijangkau, maka mereka menyatakan bahwa situs gunung padang adalah situs insitu atau situs yang dibangun dengan bahan baku yang berasal dari gunung itu sendiri.
Penelitian tersebut didukung oleh pihak Balai Arkeologi Bandung yang telah melakukan eskavasi atau penggalian di situs gunung padang pada pada tahun 2005. dari hasil eskavasi tersebut ternyata pada teras pertama ditemukan batuan yang sama dengan batuan gunung padang.
Mengenai fungsinya, Hokki melontarkan asumsi bahwa situs gunung padang mempunyai fungsi arkeoastronomis. Hokki mengaitkan asumsi tersebut dengan masyarakat austronesia yang membangun situs ini ternyata telah menguasai ilmu perbintangan. Masyarakat austronesia yang berasal dari daratan asia untuk sampai ke nusantara harus melakukan perjalanan laut. Keahlian melaut ini tidak terlepas dari kemampuan mereka dalam membaca pertanda alam yang di sampaikan oleh bintang-bintang di langit. Setelah menetap di daratan nusantara, kemampuan ini dikembangkan lagi untuk menetapkan musim tanam dengam membaca perubahan musim.
Posisi situs yang berada di puncak bukit memberikan kemudahan bagi kita untuk melakukan pengawasan situasi langit dan bumi. Hokki menjelaskan, situs ini digunakan sebagai tempat untuk melakukan pembacaan langit. Setelah mendapat petunjuk-petunjuk tertentu, masyarakat yang ada di sekitar gunung padang akan diberi tahu dengan menggunakan simbol bunyi-bunyian.
Hokki menghubungkan penggunaan bunyian dengan keberadaan 4 balok batu yang tergeletak berhadapan di lokasi teras pertama. Posisinya mirip alat musik gamelan ketika akan dimainkan. Selain bentuknya yang mirip gamelan, 4 balok batu ini memiliki frekuensi yang tinggi dalam interval 2683 Hz – 5171 Hz. Dari sana muncul asumsi batuan itu sebagai alat musik pukul yang mengikuti sebuah tangga nada tertentu.
Batu tersebut berbunyi karena memiliki struktur khusus dengan kandungan yang berbeda-beda. Yang pasti batuan tersebut bersifat andesit, merupakan balok massif, padat dan sangat kompak unsure-unsurnya. Menuju Panjang batu rata-rata satu meter tetapi mempunyai berat yang berbeda-beda antara 90-600 kg. Dan hal yang paling utama, batu tersebut sengaja di ganjal oleh beberapa batu kecil di bawahnya, sehinggga suaranya tidak teredam oleh tanah.
Dalam penelitiannya, Hokki mencoba berasumsi bahwa telah ada tradisi musikal pada masyarakat megalitikum yang membuat situs ini. Dalam penggunaannya, bunyi batuan tersebut punya arti tertentu bagi masyarakat yang tinggal di kaki bukit. Biasanya batuan tersebut dibunyikan pada malam hari. Karena pada malam hari udara bergerak dari puncak bukit ke lembah, hal ini sangat membantu pesan bunyi tersebut sampai ke masyarakat. Karakteristik seperti ini di sebut hokki sebagai ciri situs moondial.
Namun Hokki menekankan bahwa asumsi-asumsi yang dia lontarkan tersebut baru sebatas analisa yang masih perlu didukung dengan penelitian-penelitian lebih lanjut.


Gunung Padang dan Masyarakat di sekitarnya

Tidak jauh dari kaki Gunung Padang, terlihat rumah-rumah kecil berdekatan, terhimpit, namun tidak ada kesan sumpek atau padat. Setiap rumah memiliki keseragaman kondisi fisik; dinding terbuat dari bilik dan lantai terbuat dari kayu (semi rumah panggung). Kebanyakan rumah adalah rumah tua yang sebagian diantaranya merupakan peninggalan orangtua yang diwariskan kepada anaknya. Rumah-rumah ini menyimpulkan hal yang biasa kita lihat di pemukiman penduduk dekat gunung pada umumnya; sederhana dan harmonis.
Desa Cipangulaan, di sinilah masyarakat tinggal dan hidup dekat dengan lokasi situs. Melihat mereka sebagai masyarakat yang tinggal berdekatan dengan benda cagar budaya, tentunya menimbulkan asumsi wajar di benak ini; hubungan kuat diantara keduanya. Namun, ternyata asumsi ini tidak terlihat pada masyarakat sekitar Gunung Padang.
Pesona Gunung Padang yang selama ini cukup terkuak dan banyak dibicarakan oleh orang agaknya tidak atau belum berpengaruh besar bagi masyarakat gunung padang sendiri. Sejak ditemukannya Gunung Padang, banyak orang yang telah melakukan penelitian khusus dan memaparkannya ke dalam media, seperti para arkeolog (sejak tahun 80-an), akademisi, dan wartawan media. Mereka telah mengungkap banyak hal mengenai sejarah dan keberadaan Gunung Padang, sekaligus mengulas dan menganalisa bangunan beserta komponen yang ada di dalamnya. Namun, peranan media dalam mengembangkan pengenalan akan Gunung Padang bagi masyarakat luas ternyata belum mempengaruhi masyarakat sekitar. Penduduk sekitar sebagai “tuan rumah” Gunung Padang banyak yang tidak tahu menahu soal sejarah Gunung Padang. Meskipun setiap situs adalah benda cagar budaya yang memiliki nilai historical tinggi; ada sejarahnya mengapa situs itu ada, namun masyarakat merasa hal itu seperti tidak penting lagi.
Keberadaan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan letak situs pemujaan ini bukan berarti menjamin adanya keterikatan kuat antara Gunung Padang dan masyarakatnya bak tuan rumah dan penghuninya. Keaktifan masyarakat sekitar untuk berinteraksi dengan Gunung Padang sudah sangat menurun dibandingkan dengan dulu.
Selain itu, keberadaan Gunung Padang belum banyak memberi pengaruh bagi masyarakat sekitar. Sedikit pengaruh dapat dilihat dalam bidang ekonomi, namun itupun tidak semua warga bisa merasakannya, sebab hanya sedikit warga yang memiliki profesi terkait Situs Gunung Padang. Masyarakat merasa Gunung Padang sebagai “pesona” hanya bagi orang-orang luar.
Terkait dari esensi Gunung Padang sebagai tempat pemujaan, isu-isu gaib atau mistis yang biasa menjadi asumsi orang-orang selama ini sepertinya tidak terlihat bagi masyarakat sekitar. Mereka merasa tidak pernah mengalami hal-hal gaib terkait Gunung Padang. “Justru biasanya masyarakat luar yang sering mengalami hal-hal mistis dari Gunung Padang”, ungkap Ibu Hj. Norzainab, seorang warga.
Mereka tak sadar atau mungkin terlupa, tanah yang mereka pijak menyimpan pesan rahasia yang sangat berharga. Namun karena tidak mendapatkan manfaatnya, situs gunung padang terkesan biasa saja bagi mereka. Ada atau tiada bagi mereka sama saja, situs Gunung padang, adalah pusaka yang terlupakan.
note :
Tulisan ini pernah diterbitkan di majalah budaya Pesona Nusantara edisi pertama Januari 2010. Observasi untuk tulisan ini saya lakukan bersama teman-teman yang luar biasa, yakni Aminah Agustinah, Dendy Rachmat, dan Elisabet Astilia.

SEJAK DULU BULAN KITA MASIH TETAP MISTERI

Bulan yang biasa kita amati pada malam hari ternyata menyimpan suatu misteri unik yang tetap dipertanyakan oleh para ahli. Keberadaannya, usianya, dan bahkan semua tentang bulan membuat gambaran dari bulan itu sendiri menjadi suatu misteri bagi penduduk bumi.

Dr. Robin Brett dari NASA pernah mengatakan bahwa, “sepertinya lebih mudah menjelaskan mengapa bulan tidak ada daripada mengapa ada bulan.”

Usia Bulan
Salah satu yang paling membingungkan dari bulan adalah usianya. Hampir semua dari bebatuan bulan yang dibawa ke bumi untuk diamati ternyata mempunyai usia 90% lebih tua dibandingkan dengan bebatuan bumi yang paling tua sekalipun. Hingga saat ini bebatuan bumi yang paling tua yang pernah ditemukan adalah yang berumur 3,7 miliar tahun, sedangkan bebatuan bulan ternyata berusia antara 4,3 dan 5,3 miliar tahun. Penelitian tentang bulan ini sekaligus membuat lutut dari para pengagum teori kreasonis (teori penciptaan bumi) sempat gemetar. Dalam bible sendiri dicatat bahwa bulan diciptakan pada hari keempat, dan seharusnya apapun yang ditemukan para ahli diluar sana mengenai bulan akan mengatakan bahwa bulan setidaknya lebih muda dari bumi. Jika dalam beberapa dekade kedepan tidak ditemukan lagi bebatuan bumi yang lebih tua, maka kemungkinan fakta mengenai bulan akan mulai mengolok-olok para pengagum teori kreasonis.

klik utuk perbesar


Bulan Berongga
Ketika akan meninggalkan bulan dalam misi pendaratan di bulan, pesawat apolo 12 melontarkan pesawat pendarat kembali ke bulan, dan dari apa yang dicatat oleh mesin pencatat gempa yang dipasang di bulan, ternyata terjadi gempa yang berlangsung selama lebih dari 15 menit dalam radius 72km dan mengeluarkan dengungan. Sama halnya ketika kita memukul tong kosong dengan martil sekuat tenaga, maka tong tersebut akan mengeluarkan bunyi dari getaran yang dihasilkan. Hal yang sama juga terjadi pada bulan, dan ini telah membuktikan bahwa bulan itu kosong.

Debu yang Hilang
Jika memang bulan memiliki usia seperti bebatuannya yang berhasil diteliti, maka seharusnya ada tumpukan debu yang menutupi permukaannya setebal 180 kaki, namun nyatanya debu yang menutupi permukaan bulan hanya setebal 2 inci.

Berlapiskan Unsur Logam
Komposisi bebatuan bulan ternyata bukan sembarang bebatuan. Ketika para ahli mencoba melakukan pengeboran di bulan mereka terkejut karena mendapati permukaan bulan terlalu sukar untuk ditembus. Setelah diteliti, ternyata terdapat komposisi unsor logam yang sangat keras, yaitu unsur logam titanium, bahan yang sama yang digunakan untuk membuat pesawat antariksa. Kesimpulan mengenai bulan pun semakin bertambah yaitu, bola titanium raksasa yang berongga.

Dewa Anjing Menelan Matahari
Orang dahulu acap kali berhasil mengamati suatu fenomena alam yang aneh, mereka menyebutnya dengan istilah "dewa anjing menelan matahari", di saat itu akan ada benda langit berwarna hitam menutup total matahari, langit siang hari yang terang benderang tiba-tiba menjadi gelap gulita, dipenuhi dengan kelap-kelip bintang, yaitu “gerhana matahari total” yang dikenal oleh ilmuwan sekarang ini. Pada saat gerhana matahari total, benda langit hitam yang kita lihat adalah bulan, ukuran bulan persis bisa menutupi matahari, artinya jika dilihat dari bumi, bulan dan matahari sama besarnya.

Belakangan astronom mendapati, bahwa jarak matahari ke bumi persis 395 kali lipat jarak bulan ke bumi, sedangkan diameter matahari juga persis 395 kali lipat diameter bulan, maka jika dilihat dari bumi, bulan persis sama besarnya dengan matahari. Diameter bumi adalah 12.756 km, diameter bulan 3.467 km, dan diameter bulan adalah 27%-nya diameter bumi.

LEGENDA TAMBANG EMAS THE DUTCHMAN

Inilah kisah tentang tambang emas yang hilang “The Lost Dutchman (Gold) Mine”. Di sekitar pegunungan Superstition Mountain di sebelah timur Phoenix, wilayah Arizona, Amerika Serikat. Suatu tempat yang disucikan suku-suku Apache yang mendiami wilayah barat daya Benua Amerika. Tentang hamparan tanah kuning menyala yang menjadi tempat bersemayamnya Dewa Petir (Thunder God), pelindung tanah suci.


Menurut kepercayaan mereka, jika wilayah suci ini dilanggar, maka sang Dewa akan marah. Petaka dan kutukan akan merajam siapa saja yang berani menodai tanah suci ini. Kematian yang berakhir dengan mutilasi atau petaka lain yang kemudian memang menghantui lembah dan pegunungan ini. Sampai akhirnya para penambang mulai mencium bau emas… tragedi pun mulai bergulir.
Awal Pencarian Emas

Menurut sejarah, Francisco Vasquez de Coronado, seorang penjelajah Spanyol, menantang mitologi suku-suku Indian. Ia merancang ekspedisi melintasi tanah keramat Indian dan puncak-puncak “terlarang” di wilayah utara Meksiko hingga barat daya Amerika pada 1540. Tujuannya, mengungkap legenda Tujuh Kota Emas Cibola (Seven Golden Cities of Cibola). Dari sini lah kutukan itu menampakkan wujudnya.



Dalam ekspedisi ini, sejumlah besar anggota ekspedisi Fransisco ditemukan mati di pegunungan. Semua tewas dalam keadaan kepala terpenggal. Begitu pun ekpedisi ini berhasil menemukan jejak emas tersembunyi di Grand Canyon dan wilayah sekitarnya.


Paska Francisco, menyusul ekpedisi yang dilakukan para misionaris Spanyol yang dirintis oleh Eusebio Francisco Kino. Ia memulai misi sejak dekade 1700. Kino mendengar tentang legenda emas tersembunyi suku-suku Apache. Awalnya kaum Apache menyambut rombongan misionaris dengan tangan terbuka. Namun karena mereka ternyata tergiur pada emas, suku Apache pun mulai marah. Khawatir Dewa Petir murka karena kaum pendatang sering melintasi tanah suci, pembantaian pun dimulai…


Keluarga Peralta

Tercatat pada 1748, Raja Spanyol Ferdinand VI menghadiahkan tanah seluas 3.750 mil persegi (kini wilayah Arizona) kepada peternak besar Meksiko, Don Miguel Peralta dari Sonora. Namun di area tersebut kemudian diketahui terdapat beberapa tambang perak dan emas.



Tahu mendapat hadiah tanah yang berharga, Don Miguel Peralta memimpin ekspedisi peninjauan tanah tersebut. Ternyata di suatu tempat dekat pegunungan Superstition Mountain ia menemukan tambang emas tersembunyi. Ia menamakan tempat itu sebagai “Sombrero Mine”. Sejak itu selama hampir seratus tahun, keluarga Peralta beberapa kali melakukan penambangan emas di sana. Tetapi Indian Apache yang merasa tanahnya dinodai kemudian melakukan teror. Hampir sebagian besar penambang yang tewas dikuliti kepalanya, dipenggal atau tewas dengan mata tercungkil.


Pada 1846, Miguel Peralta (cucu dari Don Miguel Peralta–nama yang sama) memimpin penambangan emas besar-besaran bersama 400 pekerja tambang. Kaum Apache menganggap ini sebagai penghinaan dan penodaan. Saat rombongan akan keluar membawa emas dari “tanah suci” untuk kedua kali, Apache melakukan sergapan di sebuah celah sempit. Pertempuran pun pecah. Selama tiga hari, rombongan penambang Peralta dihujani panah dan mesiu. Keledai pembawa emas dan perbekalan lari terpencar. Seluruh penambang dibantai dalam upaya menyelamatkan diri. Tewas terpenggal dan dikuliti. Peristiwa ini dikenang sebagai “Peralta Massacre” (1848). Hanya beberapa anggota Keluarga Peralta yang berhasil pulang ke Meksiko dalam keadaan hampir mati.


Sejak peristiwa itu, perburuan tambang pun mulai dilakukan orang perorang atau secara berkelompok. Termasuk dua imigran Jerman “The Dutchman,”Jacob Walz dan Jacob Weiser, yang paling “sukses” menambang di sana. Hingga tambang tersebut kini berjuluk “The Lost Dutchman Mine”. Namun tak seorang pun yang bisa hidup lebih lama setelah mendapat emas itu… sebuah misteri!


“The Dutchman”

Tambang Emas di Superstition Mountain, Arizona, sebelumnya dijuluki keluarga Peralta sebagai “Sombrero Mine”. Mungkin karena letak tambang itu di sebuah lembah yang berbentuk bundar mengerucut, persis topi sombrero Meksiko yang terbalik. Tetapi misteri tambang ini kemudian lebih dikenal sebagai “The Lost Dutchman Mine”.



Ini berkaitan dengan julukan suku-suku Indian dan penghuni koloni Amerika terhadap dua imigran Jerman yang pernah “sukses” menambang di area tersebut. Orang Jerman kala itu dijuluki sebagai “Dutchman”.


Pada 1871, dua petualang Jerman, Jacob Walz dan Jacob Weiser mengawali petualangan pencarian emas di Amerika. Walz adalah sarjana pertambangan lulusan Heidelburg University, Jerman, sementara Weiser adalah ahli pertukangan. Keduanya sahabat karib sejak dari Jerman puluhan tahun silam.


Ada versi cerita yang mengatakan kedua Jacob ini pernah menolong keluarga Peralta dari kematian. Peralta kemudian memberi tahu lokasi tambang emas sebagai balas budi, namun dengan perjanjian bagi hasil 50-50. Dari sini lah petualangan ke tambang emas di teritori Apache di dekat Superstition Mountain, Arizona dengan penanda sebuah gunung “Telunjuk Tuhan” seperti jari menunjuk ke atas atau dikenal sebagai Weavers Needle di arah selatannya, dimulai.


Saat melakukan aktivitas penambangan, di tahun 1879 Walz disebutkan pernah membantai sejumlah penambang Meksiko. Tak lama setelah itu, ia kehilangan partnernya Weiser. Di kamp mereka, Walz hanya menemukan baju Weiser yang berlumuran darah dengan sebuah anak panah suku Apache. Jasad Weiser menghilang dan tak pernah ditemukan. Lalu dalam kurun waktu berbeda, sejumlah pekerja tambang ditemukan tewas di berbagai tempat di sekitar Superstition Mountain dengan kepala terpenggal.


Walz yang semakin menua dengan jambang panjang memutih melanjutkan upaya penambangannya sendirian. Pada 1891, seorang janda Meksiko Julia Elena Thomas, pemilik toko roti di Phoenix, menjalin hubungan asmara dengannya. Julia menemukan Jacob Walz tewas di tempat tidur tanpa sebab pada Oktober 1891, dengan satu karung emas di sampingnya.


Dari pengakuan Julia Elena ini banyak orang mendengar kisah Walz dengan sekarung emas… tambang “rahasia” Walz dan Weiser kemudian disebut sebagai The Lost Dutchman Mine. (berbagai sumber)


Jejak Kematian di Sekitar Tambang

Tragedi kematian misterius sudah dimulai sejak ekspedisi Francisco Vasquez de Coronado, pada pertengahan abad ke-16. Jejak kematian itu terus berlanjut hingga abad ke-20. Catatan sejarah membukukan lebih dari 500-an nyawa melayang dalam keadaan mengenaskan: ditembak, dipanah, kepala terpenggal, dikuliti, hilang tanpa jejak, terserang penyakit misterius atau dimutilasi!



Pada 1880, dua tentara satuan pengintai (Scout) US Army yang bebas tugas dari Fort Mc Dowell muncul di Kota Pinal Arizona. Kedua tentara ini memperlihatkan sejumlah bongkah emas yang mereka temukan saat melintas Superstition Mountain. Setelah emas mereka dibayar senilai 700 dollar (sekitar 6,5 juta rupiah), keduanya setuju melacak tambang The Lost Dutchman Mine untuk perusahaan tambang milik Aaron Mason. Namun mereka tak pernah kembali lagi dari misi itu.


Aaron membentuk tim pencari ke area Superstition. Setelah sekian hari pencarian mereka menemukan jasad kedua tentara itu terpisah jauh dalam keadaan tanpa busana. Ada luka berupa lubang besar di tengah kepala mereka, tak jauh dari jalur menuju Superstition Mountain, batas wilayah tanah suci Apache.


Setahun kemudian (1881), seorang penambang bernama Joe Dearing datang ke Pinal. Ia pun membekali diri untuk melakukan pencarian tambang tersebut. Joe Dearing mengaku menemukan pintu tambang berupa terowongan yang nyaris tertutup. Namun beberapa waktu kemudian saat ia mulai menambang, Joe Daring dilaporkan hilang dan seminggu kemudian ditemukan tewas secara tragis.


Era 1872-1896, seorang penambang lain Elisha Reavis menggunakan cara yang berbeda. Ia mengklaim tanah di dekat Superstition Mountain dan mulai berkebun sayur. Reavis dikenal sebagai pria aneh berjuluk “Madman of The Superstitions”. Pernah suatu malam orang-orang Indian melihat Reavis bertelanjang bulat berlari keluar dari rumahnya menuju sekitar lembah sambil menembakkan pistol ke langit membabi buta, seperti sedang memburu sesuatu yang terbang di langit.


Reavis ditemukan tewas pada 1896 di dekat kebunnya. Tubuhnya dimutilasi menjadi beberapa bagian dan terpisah berjarak-jarak. Ada bekas gigitan serigala di beberapa bagian tubuh. Kepalanya terpenggal sekian meter dari tubuhnya. Seorang temannya menyebutkan Reavis diam-diam telah menambang emas dan menyimpan hasilnya. Namun sebab kematiannya yang tragis tak terungkap.


Awal tahun 1900, dua penambang berjuluk Silverlock dan Malm, diketahui melakukan penambangan di area Superstition. Mereka menemukan emas di lokasi “Peralta Massacre”. Keduanya tewas dalam cara tragis di tahun 1910 (Silverlock) dan 1912 (Malm).


Tahun 1910 kerangka seorang perempuan ditemukan di mulut sebuah gua di ketinggian pegunungan Superstition Mountain. Beberapa bongkah emas ditemukan di dekatnya.


Pada Juni 1931, seorang pejabat pemerintah Adolph Ruth dari Washington DC, mengklaim memiliki peta tua peninggalan keluarga Peralta. Ia bersama sejumlah kru kemudian melakukan ekspedisi untuk membuktikan kebenaran The Lost Dutchman Mine itu. Sejak itu tak ada kabar beritanya lagi. Berhari-hari kemudian, tim SAR dibentuk. Tim menemukan kamp yang kosong melompong.


Pada Desember 1931, tengkorak kepala Ruth ditemukan dengan 2 luka bolong bekas peluru. Tergeletak di Puncak Pegunungan Hitam Arizona, terpisah dari rangka tubuhnya. Bagian kerangka tubuh lainnya ditemukan beberapa bulan kemudian tersebar di area radius seperempat mil. Dalam pakaian yang tersisa di kerangka ditemukan secarik catatan berbunyi “Sekitar 200 kaki menyeberang gua” dan di bagian lain tertulis “Veni, Vidi, Vici” (Aku datang, aku lihat, aku taklukkan).…


Tahun 1937, seorang penambang, Guy “Hematite” Frink turun dari pegunungan Superstition Mountain membawa beberapa sampel emas kasar. Pada November 1937, ia ditemukan tewas dengan lubang bekas tembakan di perut, persis di tepi jalur pegunungan. Sebuah kantung emas ditemukan di sisinya.


Juni 1947, penambang bernama James A Cravey, mempublikasikan rencana ekspedisi ke tambang Dutchman di sekitar lembah Superstition Mountain, dengan helikopter. Pilot heli menurunkannya di La Barge Canyon, dekat Weavers Needle. Namun Cravey dinyatakan hilang. Saat pencarian dilakukan, tim SAR menemukan kamp-nya dalam keadaan kosong. Pada Februari 1948, kerangka Cravey tanpa kepala ditemukan di sebuah lembah tak berapa jauh dari kamp-nya. Tampak terbungkus selimut. Dan tengkorak kepalanya berada 30 kaki dari rangka tubuhnya.


Awal tahun 1952, Joseph Kelley, memulai upaya pencarian tambang tersebut. Ia dilaporkan hilang. Namun pada Mei dua tahun kemudian, kerangkanya ditemukan dekat Weavers Needle dengan lubang besar di kepala.


Sejak itu sampai tahun 1970-an, belasan korban lain dilaporkan hilang atau tewas di sekitar pegunungan Superstition Mountain dan sekitarnya. Kini lokasi sekitar area The Lost Dutchman Mine dijadikan taman nasional dan lokasi wisata dengan nama yang sama. Areanya dekat Apache Trail, Apache Junction, Sonoran Desert, Arizona, dengan daerah berngarai, lembah dan tebing.


Catatan Dr Thorne

Ada yang menghubungkan misteri itu dengan aksi pembantaian suku-suku Apache, tetapi tak sedikit yang mempercayai akibat roh gaib. Namun tak ada konklusi apa pun yang bisa mengungkap misterinya hingga kini.



Adalah Dr Abraham Thorne, seorang dokter tentara pemerintah Federal AS (perkiraaan tahun 1854-1860-an). Ia bekerja di kamp militer Fort McDowell wilayah Utara Phoenix.


Dr Thorne cukup dikenal Indian dan sudah sering mengobati orang-orang Indian yang sakit. Namun setelah sekian tahun bergaul dan berhasil menyembuhkan wabah sakit mata di perkampungan Indian, Dr Thorne pun meminta imbalan jasanya berupa emas.


Dengan penuh pertimbangan suku-suku Apache sepakat untuk membawa Dr Thorne ke lokasi tambang mereka. Dengan mata tertutup kain, Dr Thorne digiring menuju areal tambang sejauh 20 mil ke pegunungan. Saat matanya dibuka, Dr Thorne mendapati dirinya berada di sebuah lembah tertutup. Ia sempat menandai sebuah gunung berbentuk jari di arah selatannya (yang dikenali sebagai Weavers Needle) dan medan lembah berngarai yang dalam.


Pemimpin Apache mengizinkannya mengambil emas murni sebanyak yang bisa dibawa dari tumpukan bongkahan emas yang sudah disediakan di dekatnya. Setelah meraup emas sebanyak mungkin, Dr Thorne pun diantar kembali ke perkampungan dengan mata kembali ditutup. Ia menguangkan semua emas murni itu dengan total 6.000 dollar (sekitar 55 juta rupiah).


Tergiur akan mudahnya mendapat emas, Dr Thorne pun merancang perjalanan untuk mencari tambang itu sendirian. Ia menyewa sejumlah pekerja dan pemandu, namun tak satu pun yang bisa mengenali daerah yang digambarkannya. Namun setelah sekian lama berupaya mengingat tanda-tanda alam, Dr Thorne berhasil menemukan lokasi tambang tersebut. Namun kali ini ia tak pernah bisa menikmati emas temuannya.


Sekelompok prajurit Indian Apache menghadang Dr Thorne dan rombongannya. Tanpa ampunan, Indian itu membantai mereka. Tak seorang pun dibiarkan pergi meninggalkan lembah tersebut dalam keadaan hidup.


Ada kisah yang menyatakan, kekecewaan Indian pada pengkhianatan “sahabat” mereka Dr Thorne, menyebabkan Indian Apache tak lagi mempercayai orang-orang kulit putih. Pada tahun 1882, suku-suku Indian berniat menyembunyikan tambang emas ini untuk selamanya. Mereka menutup lembah tambang tersebut dengan bebatuan, menutup terowongan yang pernah dibuat keluarga Peralta dan memindahkan susunan bebatuan di sekitar lokasi agar tak mudah dikenali.


Bertahun kemudian, sebuah gempa besar membantu penyamaran yang dilakukan orang- orang Apache. Mereka menyebut peristiwa itu sebagai restu Dewa Petir. Tambang itu pun terkubur lenyap bagai ditelan bumi…